Allah untuk Kepentingan Diriku atau Allah dalam Diri-Nya Sendiri?

Oleh: N. Risanti

Saya sering kali mendengar atau membaca ayat, “Mintalah, maka akan diberikan. Ketoklah, maka pintu akan dibukakan.” (Matius 7:7-8). Itu menjadi dasar dari setiap kita (mungkin) dalam berdoa. Kita berdoa untuk meminta, selain tentu saja untuk mengucap syukur, memohon ampunan, atau menyampaikan keluh kesah dan persoalan kita kepada Tuhan.

Dalam perkara meminta, seperti halnya setiap orang, saya pasti ingin meminta hal-hal yang baik terjadi dalam kehidupan saya. Dulu, sewaktu kecil, saya ingin menjadi anak yang pandai, nilai yang baik, atau barang-barang seperti baju dan sepatu, atau hal-hal lain yang umumnya diinginkan oleh anak-anak. Setelah dewasa, permintaan saya meningkat dengan pesat, tidak lagi sederhana seperti saat saya masih kecil. Saya mulai meminta hal-hal seperti jodoh, karir dan pekerjaan, kesehatan, penghasilan, dsb, dsb. Setiap hari pasti ada saja yang saya minta, dan selalu bertambah dalam hal kuantitas dan kualitas (tidak pernah berkurang, mengingat kebutuhan hidup juga semakin banyak dan beragam). Ditambah dengan kalimat “Dalam nama Yesus”, saya merasa doa saya menjadi doa yang powerful (baca Yohanes 14:13-14, Yohanes 16:23 ). Doa menjadi alat agar Allah mau memenuhi kebutuhan saya. Ketika ada permohonan saya yang tidak dikabulkan, saya menjadi ‘ngambek” dan bertanya-tanya kepada Tuhan, “Mengapa Tuhan?” Lebih buruk lagi, ketika saya merasa sebenarnya saya sudah pantas mendapat apa yang saya inginkan karena saya tidak berbuat jahat, curang, atau karena saya sudah berbuat baik. Saya menjadi kecewa dan frustasi. Saya belum memahami apa arti berdoa dan mengapa kita berdoa.

Seiring dengan perjalanan hidup, saya menyadari bahwa doa bukanlah sekedar alat atau sarana meminta kepada Tuhan. Doa adalah alat komunikasi kita untuk selalu terhubung dengan Tuhan, sehingga kita dapat memiliki hubungan yang dekat denganNya. Tuhan memiliki kewenangan dan kebijaksanaan sendiri untuk mengabulkan, menunda atau bahkan menolak permohonan kita karena Dia mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Dikabulkan atau tidaknya permohonan kita bukan tergantung dari frekuensi, kegigihan, kebaikan atau bahkan serangkaian hal-hal baik lainnya yang telah kita lakukan. Menarik apa yang dikatakan Pdt. Eka Darmaputera Ph.D dalam bukunya "Ketika Takut Mencengkeram" mengenai hal ini: “Sesungguhnya Allah yang kita sembah adalah Allah yang berkuasa, bebas dan berdaulat, Allah yang tidak dapat dirayu dan dipaksa. Tidak dapat diancam dan disuap. Jadi, Dia tidak kita sembah hanya karena Dia mengabulkan permohonan atau menuruti keinginan kita, atau menyediakan apa yang kita minta. Allah yang begini bukan Allah. Sebab, disini Allah yang melayani manusia, bukan manusia yang melayani Allah. Allah adalah baik dan adil menurut ukuran-ukuran Allah sendiri (bukan berdasarkan ukuran-ukuran kita). Karena itu, kebaikan dan keadilan-Nya sering tak kita pahami. Di situlah, Saudara, iman kita benar-benar diuji. Apakah kita menyembah Allah yang menguasai kita, atau kita menyembah Allah karena Dia dapat kita kuasai. Yang satu adalah Allah sejati, yang lain adalah berhala ciptaan kita sendiri.” Masih dalam buku yang sama, yang saya kutip dari halaman berbeda, “Jadi, bisa terjadi Allah membiarkan orang baik-baik, seperti Anda dan saya, kena celaka. Wah, alangkah ngerinya! Akan tetapi bukankah ini pula yang terjadi pada Yesus? Allah menjadikan Dia yang tanpa dosa menanggung dosa kita dan mengalami derita dan sengsara begitu hebat”.

Itulah dasar yang memberikan kepada saya pengertian baru tentang doa. Bahwa itu bukanlah sesuatu untuk memperalat Allah agar mau menuruti segala keinginan kita. Namun, justru sebagai sarana bagi kita untuk memahami dan menjalani kehendak-Nya dalam kehidupan ini. Tidak mudah memang, apalagi sedari kecil kita telah terbiasa untuk menerima pola pikir reward and punishment ataupun dengan segala teori positivisme yang belakangan ini melesat bagai meteor.

Ada satu lagu rohani yang syairnya berbunyi sebagai berikut:
“Jika jiwaku berdoa,
kepada-Mu Tuhanku.
Ajar aku terima saja
pemberian tangan-Mu.
Dan, mengaku s'perti Yesus
di depan sengsara-Nya.
Jangan kehendak-Ku Bapa,
kehendak-Mu jadilah”.

Sederhana, tidak bertendensi, dan bahkan mungkin tidak menunjukkan kekuatan berpikir positif atas visi/kehendak kita. Namun, seperti itulah sesungguhnya iman kita yang sejati diperlihatkan, ketika kita berani menyerahkan kehidupan kita seutuhnya pada kebijaksanaan dan kehendak Allah semata, karena kita yakin dan percaya Dia mengetahui apa yang baik bagi kita.

Amin.

Komentar