Doa Keheningan Hati

Ya Allah,
Berikanlah saya
Keheningan hati untuk menerima
Apa yang tidak dapat saya ubah
Keberanian untuk mengubah
Apa yang dapat saya ubah
Dan kebijaksanaan untuk membedakan kedua hal itu.

Demikianlah doa yang terkenal dengan nama Doa Keheningan Hati (Serenity Prayer). Menurut sebuah pahatan pada batu di Koblenz, doa itu diajarkan oleh Friedrich Oetinger, seorang penginjil di Jerman pada abad 18.

Selama lebih dari dua abad Doa Keheningan Hati ini telah mengajak prang untuk berintrospeksi atau mawas diri: Apa yang harus saya terima sebagaimana adanya dan sebaliknya, apa yang justru perlu saya ubah?

Seringkali kesulitannya terletak pada kurangnya sikap realistis dan jujur terhadap diri sendiri.

Kurangnya sikap realistis pada diri sendiri dapat menyebabkan kita membuat tuntutan perubahan yang berlebihan dari diri kita, atau tuntutan perubahan yang mustahil. Misalnya, jika tubuh kita berukuran pendek, sungguh tidak realistis untuk mengharapkan agar kita dapat berubah menjadi jangkung. Harapan yang kurang realistis seperti itu akan menyebabkan kita kecewa, menolak diri kita sendiri, lalu merasa harga diri kurang terhadap orang-orang yang berukuran tubuh jangkung. Akibatnya, mungkin kita akan mengkompensasi diri dengan menonjolkan segi lain dalam diri kita: "Biarpun saya tidak sejangkung dia, tetapi rambut saya lebih bagus dari dia", atau sebaliknya, yaitu kita merendahkan orang tersebut: "memang dia jangkung, tetapi ia bodoh". Contoh ini hanya menyangkut soal ukuran tinggi tubuh sebagai hal yang tidak dapat diubah, padahal dalam hidup ini ada begitu banyak hal yang tidak dapat kita ubah.

Sebaliknya, dalam hidup ini pun ada begitu banyak hal yang dapat kita ubah, namun justru tidak atau belum kita ubah. Sikap kita yang kurang obyektif atau kurang jujur terhadap diri sendiri dapat menutup mata kita terhadap hal-hal yang sebetulnya perlu kita ubah. Misalnya, coba sebutkan tiga sifat buruk yang ada pada diri kita. Mungkin kita memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencari ketiga sifat buruk itu, karena kita kurang menyadari bahwa kita memunyai sifat-sifat buruk. Padahal mungkin kalau kita mau jujur, sifat atau kebiasaan buruk kita jumlahnya jauh lebih banyak dari tiga.

Atau boleh jadi, kita mengakui bahwa kita memunyai sifat buruk. Namun, hal itu belum berarti bahwa kita bersedia mengubahnya. Biasanya kita cenderung memakai alasan, "Saya dari kecil sudah begitu", atau "Hal itu sudah terlanjur menjadi kebiasaan saya", atau "Saya sudah terlalu tua untuk berubah".

Persoalan mana yang tidak dapat berubah dan mana yang harus diubah tentunya bukan hanya menyangkut perkara-perkara pribadi, melainkan juga menyangkut segala aspek dalam kehidupan bermasyarakat.

Di satu pihak kita ingin melihat terjadinya perubahan dalam masyarakat; namun, perubahan itu tidak terjadi. Kita dapat menjadi kecewa dan marsh akibatnya. Padahal mungkin hal itu tidak atau belum dapat diubah. Oetinger mengajar kita berdoa memohon keheningan hati sehingga kita dapat menerima keadaan yang tidak atau belum berubah itu.

Namun, hal itu bukan berarti bahwa kita cepat-cepat menyerah menerima keadaan. Sebab Oetinger pun mengajak kita berdoa memohon keberanian atau itikad untuk mengubah hal-hal yang memang dapat dan perlu diubah.

Persoalannya yang utama adalah: mana yang memang perlu kita terima sebagai keadaan yang tidak dapat diubah, dan mana yang memang harus kita ubah? Di sini Oetinger mengajar kita memohon agar Tuhan mengaruniakan kebijaksanaan sehingga kita dapat membedakan kedua hal itu.

Dengan doa ini ia mengajarkan bahwa akar dari segala akal budi dan sifat bijak ialah: dapat membedakan mana yang perlu kita terima sebagaimana adanya dan mana yang harus kita ubah.

Diambil dari :
Judul buku : Selamat Pagi, Tuhan!: 33 Renungan Tentang Doa
Penulis : Dr. Andar Ismail
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002
Halaman : 60-62

Komentar