Doa Hana: Doa Seorang Perempuan Mandul

"Tuhan semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada Tuhan untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya." (1 Samuel 1:11)

Alkitab tidak memberi tahu kita apakah kata-kata itu diulang-ulang atau tidak sehingga hal itu membangkitkan perhatian Imam Eli. Tetapi, karena doa itu terus-menerus disampaikan kepada Tuhan, akhirnya Eli gelisah dan menegur Hana dengan menanyakan mengapa ia komat-kamit di dekat tiang bait kudus itu. Imam Eli duduk tidak jauh dari tiang, dan terus memperhatikan perempuan itu. "Mabuk anggur?" tanyanya. "Tidak, Tuanku. Hatiku susah sekali. Aku tidak pernah minum anggur yang memabukkan. Aku sedang mengutarakan keluh kesah dan permohonanku kepada Tuhan. Aku juga bukan perempuan jahat."

Latar Belakang

Kita tinggalkan dahulu dialog antara Hana dengan Imam Eli. Mari kita mencoba menoleh ke belakang, menyiasati secara sepintas masalah apa yang sesungguhnya dihadapi oleh perempuan ini.

Suaminya bernama Elkana. Pria ini memiliki dua istri, yang pertama bernama Hana dan yang kedua bernama Penina. Kita katakan Hana sebagai istri pertama karena dialah yang pertama disebut dalam 1 Samuel 1:2. Menurut kebiasaan memang demikian. Sayangnya, Hana tidak memiliki keturunan, sedangkan madunya memiliki putra dan putri. Tradisi di kalangan Yahudi menganggap bahwa perempuan yang tidak memiliki anak atau mandul adalah sebuah aib yang menyedihkan. Barangkali, itulah yang membuat hati Hana sedih sekalipun suaminya tetap mengasihinya dan senantiasa mengikutkannya dalam kunjungan ke kota lain, untuk mengadakan korban persembahan kepada Tuhan. Ketiadaan anak ini pun sudah menyakitkan hati Hana dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ditambah lagi sikap Penina, madunya yang pahit itu, selalu menghina dan menyakiti hatinya.

Bolehlah kita membayangkan bagaimana Hana melihat anak-anak Penina bermain-main di halaman dan di rumah, sementara Hana hanya menyaksikan tanpa daya karena tidak ada anak tempat menumpahkan kasih sayangnya. Pada saat yang sama, Penina akan mencibir dan mengejeknya sebagai perempuan sial di tengah-tengah keluarga.

Hari demi hari dilalui Hana dengan hati sedih, pilu, kesepian, dan hinaan yang tidak tertahankan. Suaminya, Elkana, sering melakukan ibadah dan jarang ada di rumah sehingga tidak dapat menyelami perasaan hati Hana. Setiap tahun, mereka berangkat dari Rama menuju rumah Allah di Silo. Persembahan dan pemberian dari Elkana kepada kedua istrinya mungkin sama, tetapi karena Penina mempunyai beberapa anak, pembagian lebih banyak diberikan kepadanya. Mata Penina mengerling dan mulutnya mengejek Hana yang menerima hanya satu bagian saja. Ini memperdalam luka dalam hati perempuan itu. Ia mengadu kepada Elkana. Elkana membujuknya dan mengatakan kepadanya supaya tidak usah gelisah mengenai anak.

Gusar dari Tahun ke Tahun

Ada pepatah yang berkata, "Dua orang perempuan di bawah satu atap tidak akan pernah rukun." Pepatah ini juga berlaku dalam keluarga Elkana. Penina selalu mencari kesempatan dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan perasaan Hana. Hana sendiri merasa tidak mampu lagi menanggung penghinaan itu. Apa daya seorang perempuan yang rahimnya mandul? Tidak ada seorang pun yang akan dapat menghibur dan menaruh simpati kepadanya. Pedih benar perasaannya.

Suatu hari, Hana menangis dan menangis. Hanya itu yang dapat dilakukannya. Ia menangisi nasib dan kandungannya yang kosong dari tahun ke tahun. Bahkan, ada kalanya seharian ia tidak mau makan. Suaminya menghibur dan membujuknya, tetapi tidak berhasil sama sekali.

Di Rumah Tuhan di Silo

Derita yang dirasakan Hana adalah derita yang merasuk sampai ke tulang sumsumnya. Ia merasakan kepedihan penghinaan dari ubun-ubun sampai ke ujung-ujung kakinya. Buktinya, dalam kunjungan ibadah tahunan ke Silo, Hana menangis lagi dan tidak mau makan. Suaminya menjadi kebingungan. Bagaimana ia bisa berjalan pulang ke rumah kalau tubuhnya lemah karena tidak mau makan? Bukankah hal itu justru akan menambah derita dirinya sendiri dan menggembirakan saingannya, Penina?

Akhirnya, Hana sendiri menyadari situasinya. Ia tidak dapat terus larut dalam duka yang tidak berakhir. Ia mengambil sebuah tekad yang tidak pernah dipikirkannya selama ini. Dalam duka dan sesenggukan tangis, ia mencoba tegak lagi, membasuh wajahnya, memakan makanan untuk menguatkan tubuhnya, dan berjalan ke rumah Tuhan. Ia menangis tersedu-sedu. Kadang-kadang, ia diam dan mulutnya komat-kamit karena ia berdoa dalam hati. Tidak ada jalan lain, selain berdoa kepada Tuhan. Tidak! Tekadnya sudah bulat. Biarlah! Pikirnya. Aku mengadukan segala keluhan dan derita batinku kepada Tuhan. Hanya Tuhan yang dapat merasakan suara batinku dan mendengar doaku betapa pun jauhnya Ia di surga sana. Ia senantiasa dekat kepada orang yang berseru kepadanya. Dalam doa sendirian, dengan tangis yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam, ia menghadap hadirat Tuhan.

Tidak ada yang mendengar doa dalam hatinya. Tidak ada orang yang mengerti perasaannya yang paling dalam. Tidak juga suaminya, apalagi madunya yang pahit itu. Dalam tangis, dalam doa, dalam suasana komat-kamit itu, ia mengeluarkan segala unek-unek hatinya. Tidak jauh dari tempatnya berdoa dan menangis, duduklah Imam Eli yang sudah tua di kursinya.

Narasi dalam Doa

Doa Hana sebenarnya singkat. Tetapi, isi doanya sangat padat dengan masalah dan keluh kesah. Dalam doanya, ia bertutur sebagai berikut:

"Tuhan semesta alam."

Hal ini perlu kita perhatikan dengan saksama. Doa Hana adalah pengakuan bahwa Tuhan berkuasa atas alam semesta ini. Dialah yang menjadikan langit dan bumi serta planet-planet lain dan benda-benda alam yang terdapat di angkasa. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Lalu, Hana "menuntut" kepada Tuhan yang selalu disembah dalam kunjungan kebaktian yang dilakukannya setiap tahun. Allah memberi mandat kepadanya bahwa ia dapat mengajukan permintaan dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan.

Doanya dilanjutkan sebagai berikut:

"Jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini ...."

Hana meminta perhatian dari Tuhan, yang diakuinya benar-benar ada dan berharap kepada-Nya dengan sepenuh hati, pastilah Tuhan mengetahui keadaan rahimnya. Ia mengadu kepada Tuhan agar Tuhan menghilangkan aib ini dari catatan hidupnya. Hana memiliki keyakinan yang pasti bahwa "sengsaranya" akan diperhatikan Tuhan dan ia tidak akan dilupakan dalam lembah kesengsaraan dan penghinaan. Suara hatinya yang terdalam dicurahkan dengan sungguh-sungguh, ia meminta rahimnya diperhatikan oleh Tuhan. Tuhan mampu mengadakan sesuatu yang mustahil menurut pemikiran manusia. Oleh karena itu, dengan sangat tulus, ia melanjutkan permohonannya dengan permintaan yang lebih spesifik:

"... tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki ...."

Doa memang harus spesifik, tidak mengambang dan muluk-muluk. Sampaikan doa Anda dengan terus terang, apa keperluan Anda, maka Tuhan akan memberikan sesuai dengan keperluanmu. Hana tidak menyampaikan doa yang panjang, indah, dan enak didengar di telinga. Ia memerlukan seorang anak untuk mengukir kehidupannya yang berharga di dunia ini. Ia tidak mau dipermalukan karena Tuhannya pastilah menjawab doanya. Itulah pengharapan Hana. Ia menuntut, ia meminta seorang putra, untuk melengkapi kehadirannya di tengah-tengah keluarganya, di tengah-tengah masyarakat sekitarnya yang senantiasa memandangnya dengan sebelah mata, dengan mulut yang mencibir.

Doa ini tidak berhenti pada permintaan untuk menghilangkan aibnya secara pribadi, tidak. Hana tampaknya tidak hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia juga kagum kepada anak-anak yang bekerja di bait kudus, mereka yang dengan sukarela mengabdikan hidupnya kepada Tuhan. Bukan hanya kepentingan dirinya saja yang didahulukan. Ia meminta dan menuntut, untuk menyerahkannya kembali kepada Tuhan dan mengabdikannya kepada-Nya seumur hidup anak yang dijanjikan itu.

"... maka aku akan memberikan dia kepada Tuhan untuk seumur hidupnya ...."

Sebuah janji yang luar biasa. Pokoknya, ia diberi anak, cukuplah sudah. Dan, anak itu akan dipeliharanya dan kalau sudah disapih, anak itu akan diserahkan ke bait suci untuk menjadi penolong di bait kudus itu. Bukan untuk bilangan tahun, melainkan untuk seumur hidupnya. Tekad seorang perempuan yang merindukan anak.

"... dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya."

Ini tidak lazim. Seorang ibu yang mengharapkan anak dari rahim yang mandul, akan memperoleh anak atas kehendak Tuhan (dan itu sangat diyakininya), dengan sebuah nazar yang harus dipenuhi, juga disampaikan oleh Hana. Sebuah tanda diberikannya bahwa anak itu tidak akan dipangkas rambutnya. Bagi orang Israel, rambut adalah lambang kehormatan.

Doa yang Hampir Dijawab

Dialog antara Hana dan Imam Eli pada awal tulisan ini kita lanjutkan.

"Aku mencurahkan isi hatiku di hadapan Tuhan ... sebab karena besarnya cemas dan sakit hati aku berbicara demikian lama," jawab Hana kepada Imam Eli ketika Eli merasa heran karena Hana berkomat-kamit.

Lalu, Eli menjawab, "Pergilah dengan selamat, dan Allah Israel akan memberikan kepadamu apa yang engkau minta dari pada-Nya."

Sebuah jawaban yang serta merta. Hati Hana merasa lega.

"Biarlah hambamu ini mendapat belas kasihan dari padamu," jawabnya.

Siapa yang tidak merasa gembira bahwa doanya akan dijawab? Sang imam telah memberikan ketegasan kepadanya bahwa Allah orang Israel akan menjawab doanya. Hana tidak mendengarkan suara Tuhan dari surga sebagai jawaban doanya. Tetapi, Tuhan berbicara kepadanya melalui Imam Eli yang sudah tua itu. Imam itu juga berdoa kepada Tuhan agar permohonannya dikabulkan, dan memberikan jawaban yang pasti bahwa permohonan perempuan yang tulus itu akan digenapi dalam tahun itu juga.

Doa Menjadi Kenyataan

Hana yang pulang ke rumah tidak lagi bermuka murung. Ia makan dengan senang hati. Ia tidak peduli lagi dengan hinaan dan cemoohan Penina, sang madu yang pahit, dan tidak menunjukkan kerisauan dalam kehidupan sehari-hari. Setahun kemudian, ia melahirkan seorang putra yang diberi nama Samuel. Setelah disapih, anak itu kemudian dibawa ke Silo, ke rumah Tuhan untuk diserahkan kepada Imam Eli. Hana memberi tahu Eli bahwa anak yang dibawanya itu adalah anak yang dimintanya setahun yang lalu ketika ia berdoa di dekat tiang, dan disangka seorang perempuan yang sedang mabuk atau perempuan dursila.

Ada kebanggaan dalam diri perempuan itu. Doanya telah dijawab oleh Tuhan. Ia hendak menyerahkan anak yang dikasihinya, anak perjanjian itu kepada Tuhan yang mengaruniakannya. Hana menghendaki anak itu akan berbakti kepada Tuhan dan melakukan yang terbaik kepada-Nya, sebagaimana ia telah memberikan anak yang paling berharga kepada Tuhannya.

Segenap jiwa dan hatinya bersama anak itu di bait kudus. Setahun sekali, Hana dapat menemuinya dan menyaksikan perkembangannya di rumah Tuhan. Ia merasa gembira karena anak itu bertumbuh dalam kerohanian di bait kudus, tidak merengek-rengek untuk pulang ke rumah ayah bundanya.

Sebuah kalimat penyerahan anak masih mendengung sampai kini:

"Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari pada-Nya" (ayat 27). (t/Wina)

Diambil dan disunting dari:

Judul buletin : Sahabat Gembala, Edisi Mei 2005
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung 2005
Halaman : 37 -- 43

Komentar