Doa Meditatif 2

Langkah-Langkah Menuju Doa Meditatif

Pada zaman Alkitab, orang mengerti bagaimana cara bermeditasi. Namun saat ini, terdapat ketidaktahuan yang teramat parah, bahkan pada elemen-elemen yang paling dasar. Berikut tiga langkah dasar menuju doa meditatif.

1. Pemusatan

Langkah pertama adalah 'pemusatan'. Banyak orang telah menggunakan istilah 'rekoleksi', yaitu suatu pengumpulan kembali diri kita sampai kita menyatu secara keseluruhan. Idenya adalah membiarkan pergi semua gangguan yang saling bersaing, sampai kita sepenuhnya terpusat -- benar-benar ada di mana kita berada.

Mulailah duduk dengan nyaman. Secara perlahan biarkan semua ketegangan dan kecemasan pergi menjauh. Sadarilah hadirat Allah dalam ruangan Anda. Dalam imajinasi, Anda mungkin ingin membayangkan Kristus duduk di kursi di depan Anda karena Dia memang sungguh hadir. Jika perasaan frustrasi atau gangguan semakin bermunculan, Anda mungkin akan membawanya ke dalam pelukan Bapa dan membiarkan Dia menanganinya. Hal ini bukan sekadar menekan kekacauan batiniah kita, namun membuangnya. Penekanan menyiratkan sebuah tindakan menekan -- menjaganya tetap tertekan, sementara dalam memusatkan, kita membuangnya -- melepaskannya. Itu lebih dari sekadar relaksasi psikologis yang netral. Itu adalah berserah secara aktif, menggunakan istilah Jean-Pierre de Caussade: "Sebuah penyangkalan diri pada kekuasaan ilahi".

Justru karena Allah hadir bersama kita, kita dapat bersantai dan membiarkan segala sesuatu pergi karena dalam hadirat-Nya tidak ada yang berarti, kecuali datang kepada-Nya. Kita membiarkan gangguan dan rasa frustrasi diri meluruh di depan Dia, bagaikan salju di bawah matahari. Kita mengizinkan Dia meredakan badai yang mengamuk di dalam diri kita. Kita mengizinkan keheningan-Nya yang luar biasa untuk meredakan hati kita yang berisik.

Keberpusatan ini tidak datang dengan mudah atau cepat pada awalnya. Kebanyakan dari kita hidup dalam kehidupan yang terpisah dan terbagi-bagi, sehingga pengumpulan merupakan sesuatu yang sangat asing bagi kita. Momen ketika kita benar-benar mencoba menjadi terpusat, menjadikan kita sadar bahwa secara menyakitkan kita akan terganggu. Romano Guardini mencatat, "Ketika kita mencoba menenangkan diri, kekacauan semakin berlipatganda dengan hebatnya, tidak seperti pada malam hari ketika kita mencoba tidur. Kepedulian atau keinginan menyerang kita dengan sebuah kekuatan yang tidak mereka miliki sepanjang siang." Namun, kita seharusnya tidak menjadi takut dengan hal ini. Kita harus siap untuk mencurahkan seluruh waktu meditasi pada keberpusatan ini, tanpa sedikit pun memikirkan hasil atau imbal baliknya. Kita bersedia "membuang waktu kita", dalam hal ini sebagai sebuah kasih yang berlimpah-limpah, yang kita persembahkan kepada Allah karena Allah menerima apa yang terlihat sebagai sampah yang bodoh, dan menggunakannya untuk membawa kita lebih dekat pada kekudusan. Dengan tajam Guardini berkomentar, "Jika pada awalnya kita memperoleh tidak lebih dari pemahaman akan betapa sedikitnya yang kita ketahui dalam penyatuan dalam diri, sesuatu akan diperoleh karena dalam beberapa cara kita akan memiliki hubungan dengan pusat yang tidak mengenal gangguan apa pun."

Banyak hal terjadi dalam proses pemusatan. Pertama, terdapat sebuah penyerahan yang menyenangkan kepada Dia, "yang ada dan yang telah ada dan yang akan datang, Yang Maha Kuasa". (Wahyu 1:8) Kita menyerahkan kendali atas hidup dan tujuan kita. Di dalam tindakan yang disengaja, kita memutuskan untuk melakukannya bukan menurut cara kita, melainkan menurut cara Allah. Bahkan, kita mungkin ingin membayangkan tubuh kita diangkat ke dalam terang yang dalam dari kehadiran Allah, sehingga Dia mungkin bekerja bersama kita karena hal itu menyenangkan-Nya.

Kita menyerahkan segala milik kita dan mengundang Dia untuk memiliki kita dalam sebuah cara tertentu, sehingga kita benar-benar tersalib bersama Kristus dan sungguh-sungguh hidup melalui hidup-Nya. (Galatia 2:20) Ambisi untuk menguasai, kita serahkan ke dalam tangan Allah, supaya kita menjadi semakin hebat dan dikagumi, semakin kaya dan kuat, bahkan untuk menjadi semakin suci dan berpengaruh.

Kita menyerahkan kepedulian dan kekhawatiran kita kepada-Nya. "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu." (1 Petrus 5:7) Kita dapat menyerahkan "keinginan untuk menjadi nomor satu" karena kita memiliki Pribadi yang mengawasi kita. Saya kadang-kadang suka menggambar sebuah kotak, di mana saya bisa meletakkan setiap kekhawatiran dan kepedulian. Ketika kotak itu penuh, saya membungkusnya, memberinya simpul yang besar di atasnya, dan memberikannya kepada Bapa sebagai hadiah. Dia menerimanya dan saya tahu bahwa saya seharusnya tidak mengambilnya kembali, karena mengambil kembali hadiah yang telah diberikan sangatlah tidak sopan.

Kita menyerahkan tujuan-tujuan baik dan ketegaran hati kita karena hal-hal ini dapat menjadi tanah gembur bagi benih harga diri dan arogansi. Bunda Teresa dari Kalkuta berkata, "Berdoalah untuk saya, agar saya tidak mengendorkan pegangan saya pada tangan Yesus bahkan di bawah samaran pelayanan kaum miskin." Karena jika kita "mengendorkan pegangan kita pada tangan Yesus," kita telah kehilangan segalanya. Kita seharusnya menyerahkan semua gangguan -- bahkan gangguan yang baik -- sampai kita terbawa pada sang Intisari.

Hal kedua yang terjadi pada kita ketika kita belajar untuk memusatkan adalah munculnya sebuah semangat akan pertobatan dan pengakuan. Tiba-tiba saja kita menjadi sadar -- sangat menyadari -- akan kekurangan dan banyaknya dosa kita. Semua pengecualian terhapus, semua pembenaran diri terbungkam. Sebuah penyesalan yang mendalam dan rohani, yang tertanam dalam dosa yang disengaja dan yang tidak disengaja. Perbuatan atau pemikiran apa pun yang tidak dapat bertahan dalam terang Kristus, yang menerangi segala sesuatu menjadi menjijikkan, tidak hanya bagi Allah tetapi juga bagi manusia. Demikianlah kita merendahkan diri di bawah salib, kita mengakui kebutuhan kita dan menerima firman pengampunan-Nya yang agung.

Kita mungkin ingin menggambarkan sebuah jejak yang dipenuhi oleh bebatuan. Batu-batu itu ada yang berupa kerikil, batu-batu yang cukup besar, dan ada beberapa batu yang tidak kita ketahui ukurannya karena tertutup oleh batu-batu lain. Dengan penyesalan dari hati, kita mengundang Allah untuk membuang setiap batu karena batu-batu tersebut menggambarkan banyaknya dosa yang mengotori hidup kita. Satu demi satu Allah mengambil dosa-dosa itu, menunjukkan kepada kita karakter dan sifat dosa itu yang sesungguhnya. Bagi mata kita, beberapa terlihat besar dan yang lainnya kecil, namun Allah menolong kita untuk memahami bahwa mengangkat kerikil terkecil sekalipun, memiliki pengaruh yang sama dengan mengangkat bongkahan batu yang besar. Beberapa batu harus digali dari tanah dan hal ini terasa menyakitkan, namun hal itu membawa kesembuhan. Ketika kita melihat jejak yang seluruhnya bersih, kita bersukacita dalam karya Allah yang agung ini.

Saat kita semakin terpusat, realitas ketiga yang dapat diterapkan di dalam hati kita adalah penerimaan terhadap cara-cara Allah bagi manusia. Kita sangat menyadari bahwa jalan Allah bukanlah jalan kita, dan pikiran-Nya bukanlah pikiran kita (Yesaya 55:8). Dengan pengetahuan batin yang lahir di luar persekutuan kita, kita melihat bahwa seluruh rencana-Nya adalah baik. Ketidaksabaran, pemberontakan, dan penolakan kita membuka jalan menuju penerimaan yang rela terhadap kehendak ilahi. Hal ini bukanlah penyerahan diri dengan sangat tabah pada "kehendak Allah". Namun, ini merupakan sebuah langkah masuk dalam ritme Roh. Ini adalah sebuah pengakuan bahwa perintah-perintah-Nya adalah "selalu untuk kebaikan kita". (Ulangan 6:24) Ini berbicara tentang keluar dari jalan kita dan berkata, "Ya" pada jalan Allah, dan tidak melakukan itu dengan terpaksa karena kita tahu bahwa jalan itu adalah jalan yang lebih baik.

Kita mungkin ingin membayangkan diri kita sedang berada di suatu pantai yang indah di suatu tempat, dengan mengamati jejak kaki Allah di pasir. Perlahan kita mulai meletakkan kaki kita ke dalam jejak tersebut. Pada beberapa tempat, jejak langkah tersebut terlihat terlalu jauh untuk pandangan kita yang terbatas; di tempat yang lain jejak langkah tersebut terlihat begitu pendek, sehingga terlihat kekanak-kanakan. Dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, Allah sedang merentangkan kita ke mana kita harus berada pada akhir perjalanan, menahan kita di suatu tempat di mana kita harus memberikan perhatian yang lebih besar kepada-Nya. Ketika kita mengikuti pimpinan-Nya, kita semakin masuk ke dalam langkah-langkah-Nya, berbelok ke mana Dia berbelok, menerima jalan-jalan-Nya, dan menemukan bahwa semuanya itu baik.

2. Mengamati Allah

Ketika kita belajar untuk terpusat, kita mulai bergerak menuju langkah kedua dalam doa meditatif, yaitu "mengamati Allah". Apa maksudnya? Maksudnya adalah tatapan batin yang berasal dari hati pada titik pusat keilahian. Kita bersukacita dalam kehangatan hadirat-Nya karena penyembahan dan pengagungan, pujian dan ucapan syukur, bersumber dari tempat kudus-Nya dalam jiwa. Mistikus abad ke-14, Richard Rolle, bersaksi bahwa ketika dia belajar melihat dengan hati, dia mengalami kehangatan nyata di dalam hatinya, seakan-akan berada di dalam api. Dia sangat terkejut dengan fenomena ini, sehingga dia harus meraba dadanya untuk memastikan tidak ada alasan fisik dalam hal ini. Alih-alih takut, seperti yang mungkin kita duga, perasaan yang tidak biasa ini memberikannya "kenyamanan yang luar biasa dan tak terduga". Bersyukurlah kita karena dia telah mencatat pengalaman mereka yang mengalaminya dalam "The Fire of Love".

Sangat sedikit dari kita yang memiliki sensasi fisik seperti yang dialami oleh Rolle. Namun, kita semua dapat belajar melihat dengan hati. Ada sebuah lagu sederhana yang sangat terkenal. Baris pertamanya berkata, "Bebaskan rohku agar aku bisa menyembah-Mu." Inilah kerinduan hati kita ketika kita berpegang pada Allah. Kita mengasihi-Nya, kita menyembah-Nya, kita memuji-Nya. Terdapat sebuah bisikan di dalam pengabdian dan ucapan syukur, dan mungkin juga seruan pujian dan syukur.

Sering kali, musik terlihat sebagai bahasa yang terlihat. "Dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Allah dengan segenap hati" adalah cara Rasul Paulus menggambarkannya. (Efesus 5:19) Siapakah yang dapat mencegah pujian dan pengagungan yang keluar secara spontan? Himne-himne besar gereja menolong kita dalam pengamatan kita, karena dalam sebuah hal tertentu, himne-himne tersebut merangkum pengamatan akan orang-orang Kristen yang setia sepanjang abad. Ketika menyanyikan himne-himne besar tersebut, kita memasuki persekutuan dengan orang-orang kudus.

Kerap kali kita masuk ke dalam berbagai pengalaman pengamatan yang berjalan lebih dalam dari yang dapat diungkapkan dengan kata-kata manusia. Rasul Paulus mengatakan bahwa Roh Kudus tidak berhenti berdoa bagi kita "dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan". (Roma 8:26) Sering kali, ada kerinduan dan keinginan batin yang tidak dapat ditangkap dengan bahasa manusia. Hari pencurahan Roh Kudus menjadi sebuah saluran di mana roh bisa melihat Yang Kudus, Allah Israel. Pada waktu yang berlainan, seseorang mengalami apa yang disebut oleh St. Teresa dari Avila sebagai "doa yang hening", di mana semua kata menjadi tidak berguna. Dalam keheningan, kita melihat Allah karena kata-kata tidak diperlukan dalam persekutuan ini.

Sering kali, sebuah pesan pendek dari Kitab Suci akan menolong kita untuk mengamati. Kita mungkin terbawa pada penglihatan luar biasa dari Allah yang Mahatinggi dan ditinggikan, yang tercatat dalam Yesaya 6:1-8. Atau, kita mungkin ingin merenungkan penglihatan Yohanes mengenai Kristus yang bertakhta. (Wahyu 1:12-18; 19:11-16) Kita mungkin diarahkan untuk melihat Sang Juru Selamat yang terbaring di palungan atau yang menderita di atas kayu salib.

Kebanyakan dari kita merasakan kedekatan dan kasih-Nya. Father James Borst berkata, "Dia lebih dekat pada diri saya yang sebenarnya daripada pada diri saya sendiri. Dia jauh lebih mengenal saya daripada saya mengenal diri saya sendiri. Dia mengasihi saya lebih dari saya mengasihi diri saya sendiri. Dia adalah 'Abba', Bapa, bagi saya. Saya adalah saya karena DIA ADALAH DIA."

Apakah semua hal yang tinggi tentang persekutuan dengan Allah ini membuat Anda berkecil hati? Apakah Anda merasa sangat jauh dari pengalaman-pengalaman seperti itu? Jika "ya", jangan berkecil hati. Sering kali, kita jatuh ke dalam kegagalan tanpa mencapai tujuan. Meditasi kita tidak pernah bisa melampaui perasaan frustrasi kita karena piring kotor yang menumpuk di tempat cucian dan ujian kimia minggu depan. Namun, paling tidak pengalaman yang kita miliki mengingatkan kita bahwa di dalam hati Allah, terdapat kerinduan untuk memberi dan mengampuni. Dan, kita didorong untuk semakin dalam dan semakin tinggi di dalam Dia.

3. Doa yang Mendengarkan

Ketika kita mengalami anugerah yang mempersatukan dari pemusatan dan anugerah yang membebaskan untuk melihat Allah, kita diarahkan menuju langkah ketiga dalam doa meditatif, yaitu doa yang mendengarkan. Kita telah membuang semua penghalang di dalam hati, semua pola pikir, semua keinginan yang terus berubah. Anugerah ilahi, yaitu kasih dan cinta yang mendalam, membasuh kita seperti ombak lautan. Ketika ini terjadi, kita mengalami sebuah perhatian mendalam pada gerak ilahi. Di pusat keberadaan kita, kita berdiam. Pengalaman yang kita rasakan lebih dalam daripada sekadar keheningan atau pengurangan kata-kata. Tentu saja ada keheningan, namun itu adalah keheningan yang mendengarkan. Kita merasa lebih hidup, lebih aktif, daripada yang pernah kita lakukan ketika pikiran kita dipenuhi oleh banyak hal. Sesuatu yang jauh di dalam telah terbangun dan menjadi perhatian kita. Roh kita berjingkat, waspada, dan mendengarkan.

Pada Gunung Transfigurasi, perkataan Allah keluar dari awan yang menaungi dengan berkata, "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia." (Matius 17:5) Kita tidak melakukan kekerasan terhadap kemampuan rasional kita, namun kita mendengarkan lebih dari pikiran mendengarkan. Kita membawa pikiran kita ke hati, sehingga kita dapat mendengarkan dengan seluruh keberadaan kita.

François Fénelone berkata, "Diam dan dengarkanlah Allah. Biarlah hatimu dalam keadaan siap, sehingga Roh-Nya akan mengingatkanmu pada hal-hal yang menyenangkan-Nya. Biarkan semua yang ada padamu mendengarkan Dia. Keheningan dari semua hal yang berasal dari luar dan cinta duniawi, serta pemikiran-pemikiran manusia yang ada di dalam kita sangatlah penting jika kita akan mendengarkan suara-Nya." Tindakan mendengarkan ini tentu saja memerlukan keheningan dari semua "kasih yang berasal dari luar dan dari dunia". St. Yohanes dari Salib menggunakan frasa grafis, "Rumah saya seluruhnya hening". Dalam baris tunggal tersebut, dia menolong kita untuk melihat pentingnya berdiam dalam semua aspek fisik, emosi, dan psikologi.

Ketika kita berdiam di hadapan Allah dengan penuh keanggunan, kita diberikan suatu roh yang dapat diajar. Saya mengatakan "dengan penuh keagungan" karena tanpa suatu roh yang dapat diajar, perkataan apa pun dari Allah yang mungkin datang untuk memandu kita menuju kebenaran, hanya akan membuat hati kita mengeras. Kita akan menolak setiap dan semua perintah, kecuali jika kita taat. Namun, jika kita benar-benar bersedia dan taat, pengajaran Allah adalah terang dan hidup.

Tujuannya adalah membawa sikap doa yang mendengarkan ini ke dalam ranah kehidupan sehari-hari. Melalui semua gerak kehidupan -- menyeimbangkan buku cek, membersihkan debu dalam ruangan dengan "penyedot debu," mengunjungi tetangga ataupun rekan bisnis -- akan selalu terdapat ketertarikan batin pada bisikan ilahi. Hal ini tergambar dengan sangat baik dalam kata-kata yang terkenal dari Brother Lawrence, "Masa-masa sibuk tidak membuat saya berbeda dari masa-masa berdoa; dan dalam kebisingan bunyi dapur saya, sementara banyak orang pada saat yang bersamaan menyebut hal-hal yang berbeda, saya memiliki Allah dalam rasa tenang yang luar biasa seakan-akan saya sedang berlutut pada sebuah sakramen pemberkatan." Kita membawa ruangan pribadi Allah di dalam hati kita menuju kehidupan sehari-hari.

Allah adalah Sang pencipta dari berbagai hal. Dia mungkin mengubah langkah-langkah kecil kita menjadi sebuah langkah besar atau mengajar kita untuk melewati, melompat, berlari, atau bahkan berdiam diri. Dalam segala hal dan dalam segala keadaan, kita harus menaati Dia. (t\Rento)

Diterjemahkan dari:

Judul traktat : Meditative Prayer
Penulis : Richard J. Foster
Penerbit : InterVarsity Press, Illinois 1973
Halaman : 12 -- 23

Komentar