Mengikuti Pimpinan Tuhan Dalam Doa Kita

Diringkas oleh: N.Risanti

Saya mengagumi ukiran salib kecil, yang dibuat dengan saksama sebagai pembatas halaman di Alkitab saya. Mantombi, nama yang indah, tertulis pada kartu yang dilekatkan di salib dengan pita emas tipis. Mantombi. Wajah wanita tua kekar yang gelap, keriput, melintas di pikiran saya.

"Apa yang harus kudoakan untukmu?" saya berbisik.

Sehari sebelumnya, di gereja, saya tergerak ketika mendengarkan pemimpin pelayanan perempuan kami menggambarkan pengalaman mereka mengunjungi dan melayani orang-orang di KwaZulu Natal, Afrika Selatan. Saya melihat foto nenek-nenek yang sedang merangkai manik-manik di sebuah gereja kecil. Melalui sumbangan dana, mereka membuat salib dan malaikat untuk mendukung sejumlah besar anak yang telah kehilangan segalanya -- termasuk ayah dan ibu mereka akibat AIDS. Ketika melihat dan mendengarkannya, saya merasa Tuhan menggerakkan saya untuk terlibat. Akan tetapi, bagaimana? Apa yang dapat saya lakukan -- sebagai seorang wanita Amerika -- untuk membuat perbedaan dalam kehidupan orang-orang di sisi lain dunia?

Jawabannya kemudian saya dapatkan pada akhir ibadah. Kelompok pelayanan perempuan membagikan salib kecil dan meminta kami untuk berdoa bagi pelayanan Phakamisa, dan untuk nenek yang membuat salib kami, yang bekerja untuk anak yatim korban penyakit AIDS.

Saya dapat berdoa. Karena itu, saya pun menambahkan Mantombi ke daftar doa saya. Apa yang saya tidak sadari adalah bahwa melalui doa-doa saya, Tuhan akan mengajari saya sesuatu tentang kehidupan saya sendiri.

"Apa yang Anda Butuhkan?"

Dengan lembut, saya memegang salib di tangan saya. Apa yang harus saya doakan untukmu? Saya bertanya-tanya lagi. "Tuhan, tolong ajari saya bagaimana untuk berdoa bagi seseorang yang saya tidak kenal atau mengerti. Hidup kami tampak begitu berbeda," saya berseru. "Aku belum pernah bertemu dengannya dan aku belum pernah mengunjungi pelayanan Phakamisa di Afrika Selatan, tetapi aku tahu bahwa anak yatim yang disebabkan karena AIDS adalah beberapa dari anak-anak-Mu." Saya memikirkan kata-kata Yesus dalam Matius 25:40: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku!"

"Aku tahu mereka membutuhkan doa yang biasa, yaitu untuk uang, penjualan produk, persediaan, dan masalah personel relawan. Apakah ini yang Engkau inginkan agar kudoakan bagi Mantombi sehingga ia bisa terus merawat anak-anak yatim tersebut?"

Saya menunggu untuk mendengar jawaban Allah, yakin bahwa Dia ingin saya melakukan lebih daripada hanya sebuah daftar doa. "Roh Kudus, aku merasakan tarikan lembut cinta dan kasih sayang untuk wanita itu yang hanya berasal dari Engkau." Saya mendesak, tidak mau menyerah sampai saya merasakan arahan.

Berusaha mendapat lebih banyak pengertian, akhirnya saya mengunjungi situs pelayanan Phakamisa. Saya melihat foto anak-anak bermain dengan setir di atas traktor tua, atau duduk dengan kaki menggantung di sisinya, ada tawa di wajah mereka. Wajah ini bisa saja saya atau anak-anak saya. Bagaimana mereka bisa menjadi anak yatim akibat penyakit AIDS? Mereka tampak terawat dan bahagia.

Ada juga foto-foto wanita membungkuk di atas tanaman panen dan penyiangan, dan seorang wanita menggendong seorang anak yang ceria di pinggulnya. Bisa saja saya yang ada di dalam foto-foto itu, saat saya berpikir kembali ke masa kecil saya sendiri. Saya dibesarkan di sebuah peternakan. Saya berkebun, menyiangi, memerah sapi, dan membantu saudara-saudara saya memelihara ayam. Saya mengasuh adik bungsu saya, menggendong dia dengan cara yang sama di pinggang saya.

Foto-foto yang bagus, tetapi tidak memberi saya inspirasi untuk berdoa syafaat -- semua tampak baik-baik saja. Apa yang mereka butuhkan? Saya malah merasa lebih bingung.

Saya menatap salib manik-manik yang ada di jari telunjuk saya, simbol kebangkitan Yesus. Tuhan, apakah saya bahkan telah menyebutkan namanya dengan benar?

"Berapa jam dalam sehari kau bekerja dengan manik-manikmu, Mantombi?" Saya berharap dia bisa duduk dan mengobrol dengan saya, mengekspresikan keinginannya, dan saya akan mengerti apa yang dia butuhkan sebagai wanita Allah. "Saya kagum padamu dan nenek-nenek lain sepertimu yang dapat mendukung pelayanan dengan menjual kreasi manik-manik," kata saya keras-keras, di dalam hati.

Semakin saya mencoba untuk mengumpulkan fakta tentang Mantombi, semakin dia menghindari saya. Tidak ada pikiran tentang pokok doa syafaat yang muncul baginya secara pribadi. Tetapi, saya merasa harus berdoa untuk Mantombi secara khusus. Saya rasa itulah doa syafaat -- melanjutkan sampai pesan yang jelas dari Roh Kudus tertanam di pikiran saya.

Mendorong Lebih Dalam

Menggali lebih dalam pada misteri ini, saya bertanya kepada diri sendiri, "Bagaimana aku mendapatkan kekuatan emosional untuk merawat anak-anak yang akan segera mati karena AIDS? Anak yatim piatu yang telah kehilangan orang tua mereka karena AIDS, yang tidak memiliki obat-obatan atau perawatan kesehatan yang baik, tetapi masih memiliki aku, seorang nenek, untuk mengasihi mereka?"

Saya bergidik dan berbisik, "Hanya memikirkan tentang apa yang engkau lakukan membuatku takut, Mantombi. Bagaimana Engkau bisa bangun setiap hari untuk memenuhi kebutuhan mereka, mengetahui engkau tidak lama lagi akan mengucapkan selamat tinggal kepada cucumu? Engkau sudah mengucapkan selamat tinggal kepada orang tua mereka, mati-matian berdoa agar mereka berada di surga, supaya engkau akan melihat mereka lagi suatu hari nanti."

Segera, sebuah ayat Alkitab, yang saya doakan ketika tengah bergumul, melayang ke pikiran saya: "sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun." (Yakobus 1:3-4)

"Itu dia, Tuhan!" saya berteriak. "Tanpa ketekunan, Mantombi, engkau akan hancur oleh kesedihan. Begitu banyak kematian mengelilingimu, dengan akhir yang tidak terlihat. Aku akan berdoa demi ketekunanmu dan kawan-kawanmu yang lain."

"Terima kasih, Tuhan. Engkau membawaku untuk memahami beberapa kebutuhan, serta mengingatkanku tentang ayat Alkitab yang tersembunyi di hatiku. Engkau juga telah memberiku ketekunan untuk menantikan-Mu."

Saya merasa lega, tetapi bertanya-tanya apakah saya sudah selesai dengan doa saya untuk wanita Afrika ini. Di pangkuan saya, Alkitab masih terbuka di mana ada salib Mantombi. Kata-kata ini melompat keluar dari halaman. "Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia." (2 Korintus 3:2-3)

Tuhan dengan sabar menunggu saya untuk dengan sabar menantikan Dia. Dan, Dia menjawab doa saya menggunakan ayat Kitab Suci dan manik-manik mutiara putih.

Jika saya bergegas melewatkan waktu doa saya dengan kalimat sederhana, "Tuhan berkatilah Mantombi dan pekerjaannya dengan anak yatim korban AIDS. Engkau tahu apa yang mereka butuhkan," saya akan kehilangan berkat dalam doa yang tekun, dan untuk benar-benar belajar mendengarkan apa yang menjadi kepedulian Allah. Saya tahu pergumulan saya dalam doa membuat saya menjadi seorang pendoa yang kuat, dan membuat doa-doa saya lebih berkuasa dan berguna untuk Kerajaan Allah.

Saya akan terus berdoa bagi upaya Mantombi dan kesejahteraan rohani serta anak-anak yang ada di dalam perawatannya. Melalui Mantombi, Tuhan mengajarkan saya untuk terus berdoa sampai saya mengerti dengan jelas apa yang Dia inginkan untuk didoakan. Syafaat merupakan tantangan dan kerja keras, tetapi sesuatu yang Tuhan inginkan dan perkenan jika kita mengikuti pimpinan-Nya. (t/Jing Jing)

Diterjemahkan dari:

Nama situs : Today's Christian Woman
Alamat URL : http://www.todayschristianwoman.com/articles/2012/january/godsleadprayers.html
Judul asli artikel : Following God's Lead in Our Prayers Praying for Others Taught Me a Lesson About My Own Life.
Penulis artikel : Jan Lazo-Davis
Tanggal akses : 30 Mei 2013

Komentar