Merayakan 30 tahun
melayani bersama
Aku dilahirkan sebagai yatim piatu sejak tahun-tahun pertama kelahiranku. Karena dibesarkan dalam suatu keluarga yang tak mengenal agama, aku tidak pernah mendapat pendidikan agama sewaktu kecil. Pada usia 14 tahun, aku telah menjadi seorang ateis yang keras seperti orang-orang komunis saat ini. Inilah akibat dari masa kecil yang pahit -- saat di mana aku sudah mengenal kemiskinan dalam tahun-tahun yang sukar selama Perang Dunia I.
Aku telah membaca buku-buku ateis, dan aku bukan hanya tidak percaya akan adanya Tuhan dan Kristus, bahkan aku membenci pikiran-pikiran semacam itu dan menganggapnya berbahaya bagi pikiran manusia. Jadi, aku tumbuh dalam kepahitan terhadap agama.
Namun kelak aku mengerti, oleh anugerah Allah, aku telah dipilih-Nya untuk alasan-alasan yang tak dapat kumengerti.
Walaupun aku seorang ateis, namun ada sesuatu yang tak masuk akal yang selalu menarikku masuk dalam gereja. Sulit bagiku untuk melewati sebuah gereja tanpa memasukinya. Namun, aku tidak pernah mengerti apa yang sedang berlangsung di dalam gereja. Aku mendengarkan semua khotbah, tapi semuanya tidak menarik hatiku.
Aku punya gambaran bahwa Tuhan adalah seorang Tuan yang harus kutaati. Aku membenci gambaran yang salah tentang Tuhan yang ada dalam pikiranku ini. Namun, aku amat ingin mengetahui bahwa ada hati yang penuh kasih yang berada di sebuah tempat di alam semesta ini, entah di mana. Aku hanya memeroleh sedikit kasih sayang kala aku masih kanak-kanak dan remaja. Karenanya, aku merindukan detakan kasih sayang itu.
Aku meyakinkan diriku bahwa Tuhan tidak ada, tetapi aku sedih karena Tuhan yang penuh cinta kasih seperti yang kubutuhkan tidak ada. Pernah, dalam keadaan konflik spiritual seperti itu, aku masuk ke dalam sebuah gereja Katolik. Kulihat orang-orang sedang berdoa dan mengucapkan sesuatu. Aku berpikir, aku akan berlutut dekat mereka supaya dapat mendengar apa yang sedang mereka ucapkan dan mengulangi doa itu untuk melihat apa yang akan terjadi.
Mereka mengucapkan doa kepada perawan suci itu. "Salam Maria, penuh rahmat." Aku mengulangi perkataan demi perkataan setelah mereka, berulang kali. Kupandangi patung Bunda Maria itu, namun tak terjadi sesuatu apa pun. Aku amat sedih sekali.
Suatu hari, meski aku seorang ateis, aku berdoa kepada Tuhan. Doaku seperti ini: "Tuhan, aku tahu pasti bahwa Kau tidak ada. Tapi bila Engkau toh ada, yang merupakan sesuatu yang kutentang, maka bukanlah kewajibanku untuk memercayai-Mu, melainkan Engkaulah yang harus memperkenalkan diri-Mu kepadaku!"
Aku seorang ateis, tapi ateisme tidak memberi kedamaian dalam hatiku.
Selama pergolakan batin ini, seorang tukang kayu tua di sebuah desa di atas pegunungan Rumania berdoa seperti ini: "Tuhanku, aku telah melayani-Mu di dunia ini. Maka aku ingin mendapat ganjaranku di bumi ini, seperti kelak di surga! Dan upahku itu ialah agar aku tidak mati sebelum membawa seorang Yahudi kepada Kristus, karena Yesus adalah orang Yahudi. Tapi aku ini seorang yang miskin, sudah tua, dan berpenyakitan. Aku tidak dapat pergi mencari orang Yahudi. Di desaku ini tak ada orang Yahudi. Kirimlah oleh-Mu seorang Yahudi ke desaku ini dan aku akan berusaha semampuku untuk membawanya kepada Kristus."
Sesuatu yang tak tertahankan mendorongku untuk pergi ke desa itu. Aku tak memunyai alasan apa pun untuk pergi ke sana. Rumania memunyai 12.000 desa seperti itu, tapi aku justru pergi ke desa yang satu itu. Karena aku seorang Yahudi, tukang kayu tua itu menyambutku seperti seorang pemuda menyambut gadis yang sangat dicintainya. Ia melihat dalam diriku, jawaban atas doanya. Lalu ia memberiku sebuah Kitab Suci untuk dibaca. Sebelumnya, aku telah acapkali membaca Kitab Suci karena tertarik dari segi kebudayaan. Namun, Kitab Suci yang ia berikan kepadaku hari itu, lain daripada biasanya.
Seperti yang ia tuturkan kepadaku, ia bersama istrinya telah berdoa berjam-jam untuk pertobatanku dan istriku. Kitab Suci yang diberikannya kepadaku bukan hanya ditulis dengan huruf-huruf saja, melainkan penuh kobaran nyala cinta yang terbakar oleh doa-doanya.
Aku hampir tidak dapat membacanya, aku hanya bisa menangis di atas Kitab Suci itu, membandingkan kehidupanku yang buruk dengan kehidupan Yesus; kenajisanku dengan kebenaran-Nya; kebencianku dengan kasih-Nya. Dan, Ia menerimaku menjadi salah satu milik-Nya.
Tak lama kemudian, istriku pun turut bertobat. Ia mengajak banyak orang kepada Kristus, dan mereka yang diajaknya itu, juga mengajak yang lain lagi kepada Kristus. Dengan demikian, sebuah jemaat Lutheran berdiri di negara Rumania.
Kemudian datanglah masa pendudukan Nazi. Kami sangat menderita. Di Rumania, kaum Nazi bertindak bagai diktator dari zaman pertengahan, yang senantiasa menyiksa orang Protestan dan Yahudi.
Sebelum aku dinobatkan secara resmi sebagai pendeta, dan sebelum aku disiapkan melayani, aku merupakan pemimpin gereja ini, karena aku yang mendirikannya. Aku bertanggung jawab atasnya. Aku dan istriku sering ditangkap, dipukuli, dan digiring ke hadapan para hakim Nazi.
Siksaan Nazi itu kejam sekali, tapi masih dianggap sebagai "pendahuluan" dari siksaan kaum komunis. Kami terpaksa memberi nama putra kami dengan nama Mihai -- nama yang tidak berbau Yahudi, agar ia terhindar dari bahaya maut.
Tapi, zaman Nazi itu merupakan suatu keuntungan yang besar pula. Kami diajar bahwa siksaan badan itu dapat dipikul dan bahwa roh manusia, dengan pertolongan Tuhan, dapat menahan siksaan yang menakutkan. Kami juga belajar cara-cara kerja rahasia Kristen, yang sangat berguna sekali sebagai persiapan menempuh jalan yang lebih berat -- yang akan dialami dalam waktu dekat.
Pelayananku kepada Orang-Orang Rusia
Karena menyesal telah menjadi seorang ateis, maka sejak dari hari pertobatanku, aku telah bertekad untuk memberi kesaksian pada orang-orang Rusia. Sejak kecil, orang Rusia telah diajar dan dididik tentang ateisme. Pada akhirnya, kerinduanku untuk menjangkau mereka terpenuhi dan aku tidak perlu pergi ke Rusia untuk menjangkau mereka.
Hal itu terjadi pada masa pendudukan Nazi, ribuan tahanan Rusia dibawa ke Rumania sehingga aku dapat berkhotbah pada mereka.
Pekerjaanku di tengah-tengah mereka adalah pekerjaan yang sangat mengharukan. Aku tak dapat melupakan pertemuan pertamaku dengan seorang tahanan Rusia, seorang insinyur. Aku bertanya apakah ia percaya pada Tuhan. Andai kata ia menjawab "tidak", maka jawabannya itu tidak akan mengherankan aku. Adalah hak bagi setiap orang untuk percaya atau tidak percaya. Tapi, ketika aku bertanya apakah ia percaya pada Tuhan, ia memandang padaku dengan bingung dan berkata, "Aku tak mendapat perintah untuk percaya. Jika aku diperintahkan, aku akan percaya."
Air mata mengalir di pipiku. Aku merasakan hatiku terkoyak. Di sini, berdiri di hadapanku, seorang yang pikirannya telah mati, seorang manusia yang telah kehilangan anugerah tertinggi yang diberikan oleh Tuhan kepada umat manusia -- kepribadiannya. Ia telah menjadi alat yang telah dicuci otak di tangan orang komunis, siap percaya atau tidak percaya berdasarkan suatu perintah. Ia tidak dapat lagi berpikir sendiri.
Seperti inilah tipikal seorang Rusia setelah mengalami tahun-tahun di bawah komunisme! Setelah terkejut melihat apa yang telah dilakukan oleh komunisme terhadap umat manusia, aku berjanji kepada Allah untuk mengabdikan hidupku bagi orang-orang ini untuk mengembalikan kepribadiannya dan memberinya iman kepada Tuhan dan Kristus.
Aku tidak perlu pergi ke Rusia untuk menjangkau orang Rusia. Mulai tanggal 23 Agustus 1944, satu juta pasukan Rusia masuk Rumania, dan segera setelah ini, komunis berkuasa di negara kami. Mulailah mimpi buruk yang mengakibatkan penderitaan di bawah kekuasaan Nazi.
Pada saat itu di Rumania, yang sekarang berpenduduk sekitar 24 juta jiwa, Partai Komunis hanya memiliki sepuluh ribu anggota. Namun, Vishinsky, Sekretaris Luar Negeri Uni Soviet, masuk dalam kantor raja kami tercinta, Raja Michael I, memukul meja dan berkata, "Anda harus menunjuk orang komunis dalam pemerintahan."
Tentara dan polisi kami dilucuti, dan akhirnya komunis berkuasa dengan cara kekerasan, mereka dibenci hampir semua orang. Hal itu terjadi bukannya tanpa adanya kerjasama para Amerika dan Inggris saat itu.
Manusia bertanggung jawab di hadapan Allah bukan hanya karena dosa-dosa pribadi mereka, namun juga karena dosa-dosa bangsa mereka. Tragedi yang terjadi dalam semua bangsa-bangsa tawanan merupakan tanggung jawab hati umat Kristen Amerika dan Inggris. Orang Amerika harus tahu bahwa mereka telah membantu Rusia tanpa disadari menerapkan rezim pembunuhan dan teror atas kami. Sebagai bagian dari Tubuh Kristus, orang Amerika harus memerbaiki hal ini dengan membantu orang-orang tertawan supaya datang kepada terang Kristus.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku | : | Berkorban Demi Kristus |
Judul asli buku | : | Tortured for Christ |
Penulis | : | Richard Wurmbrand |
Penerbit | : | Yayasan Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya 2002 |
Halaman | : | 9 -- 13 |
Dipublikasikan di: http://kesaksian.sabda.org/rasa_haus_bangsa_rusia_akan_kristus