Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Doa
Ditulis oleh: Nikos Septian Kristiyono
Saya itu suka sekali dengan kata kerja "makan". Kata makan, dalam KBBI, mengandung arti sebuah aktivitas memasukkan makanan pokok atau sesuatu ke dalam mulut serta mengunyah dan menelannya. Asik sekali bukan? Di samping kata makan, ada kata benda pendamping yang juga tidak kalah memukau, yaitu "makanan". Jika mendengar dua kata tersebut, entah mengapa saya jadi lebih semangat untuk menjalani hari. Saya bersyukur dilahirkan oleh ibu saya di Indonesia, surganya makanan enak. Saya juga bersyukur lahir di dalam keluarga yang suka memasak sekaligus makan. Momen favorit saya adalah ketika mendengar bunyi "sreenggggg ...", tanda irisan-irisan tempe sudah mendarat di dasar wajan berisi minyak goreng panas. Suara gesekan munthu dan layah ketika ibu nguleg sambal, lumayan susah untuk dilupakan (biasannya akan bertahan sekitar 4,5 jam). Saya memang suka sambal, apalagi saat ia beradu dengan tempe goreng yang masih hangat. Lebih lagi nasi putih hangat, krupuk, dan wedang teh ikut bergabung. Sungguh, nikmat Tuhan mana lagi yang saya dustakan.
Setelah lulus kuliah beberapa bulan lalu, saya pulang ke kampung halaman dan meminta kepada ibu saya untuk dimasakkan tempe goreng dan sambel uleg. Sembari saya menikmati masakan tersebut, saya sempat bernostalgia tentang hal yang saya alami saat masih berkuliah. Saya pernah berpikir tentang betapa nikmatnya masakan tempe sambel ibu saya itu. Jika masakan yang disajikan ibu saya bisa begitu menggoda, bagaimana dengan rasa masakan tersebut di surga kelak? Mungkin karena terlalu nikmat, rasanya sampai tidak bisa dijelaskan. Saya juga sempat berpikir bahwa sebenarnya "tempe goreng sambel uleg" dari Tuhan sudah "tersaji" bagi saya, tetapi saya tidak menikmatinya karena sense saya tertutup oleh dosa dan kenikmatan duniawi. Ternyata, selama ini saya salah mengira kebahagiaan yang saya alami bukan 100% dari Tuhan. Semuanya itu berasal dari Dia saja bukan dari yang lain.
Selain sukacita, berbagai masalah juga datang ke dalam hidup saya. Ketika saya kuliah, saya berjumpa dengan beberapa masalah hidup, mulai dari masalah akademis, keuangan, pergaulan, sampai keluarga. Di awal-awal tahun pertama perkuliahan, hambatan pertama, yaitu mengulang mata kuliah, muncul. Belum selesai urusan tersebut, timbul masalah pergaulan (susah bersosialisai). Belum selesai masalah bersosialisasi, muncul masalah keluarga. Di tengah-tengah situasi yang kurang kondusif tersebut, saya jadi teringat sebuah aktivitas sederhana yang harusnya lebih sering saya lakukan, yaitu berdoa. Di dalam Doa Bapa Kami, ada dikatakan, "Berikanlah kami, pada hari ini, makanan kami yang secukupnya. (Matius 6:11, AYT)" Bagi hidup saya, kata "makanan" bukan hanya berarti makanan jasmani, tetapi juga rohani. Saya malu, karena selama ini saya kurang mengandalkan Tuhan dalam kehidupan saya. Saya malu, karena berlagak kuat di hadapan Tuhan yang Mahakuasa, tetapi selalu gagal dalam melakukan suatu tanggung jawab. Perintah Tuhan Yesus kepada murid-muridnya saat di taman Getsemani yang berbunyi, "Berjaga-jaga dan berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan. Roh memang penurut tetapi daging lemah .... (Matius 26:41, AYT)", ternyata juga berlaku bagi diri saya sendiri. Saya harus berjaga-jaga dan setia untuk berdoa.
Lalu, saya pun mengibaratkan sesuatu. Tempe goreng sambel uleg yang ibu saya masak, saya ibaratkan sebagai wakil dari kenikmatan duniawi yang pernah saya lakukan; seperti bermain gim sampai lupa waktu, bermalas-malasan di kos, menghabiskan uang hanya untuk beli jajan atau makanan yang tidak perlu, dan lain-lain. Sama halnya tempe goreng, kenikmatan duniawi memiliki sifat serupa. Mereka sama-sama memang enak, nikmat, dan menggiurkan, tetapi tidak bertahan lama. Mereka bisa basi sewaktu-waktu dan malah berpotensi merusak tubuh. Itu berbeda dengan "tempe goreng sambel uleg" yang disajikan oleh Tuhan. "masakan itu" tidak akan basi; tidak akan merusak tubuh; dan kenikmatannya abadi.
Dari nostalgia saya tersebut, saya belajar bahwa saya harus mulai mengatur mindset untuk memikirkan hal-hal yang kekal, daripada hanya sibuk mengurusi hal-hal duniawi. Seperti tertulis di dalam Kolose 3:2 (AYT), yang berbunyi demikian, "Pikirkanlah hal-hal yang di atas, bukan hal-hal yang di bumi." Tuhan mau agar kita memusatkan pikiran hanya kepada Dia saja; kepada sifat yang diteladankan-Nya melalui berbagai tokoh di Alkitab; dan kepada kebiasaan-kebiasaan orang-orang pilihan Tuhan, yaitu tekun dalam doa. Berdoa berarti membangun komunikasi pribadi yang intim dengan Tuhan. Ketika berdoa, pastikan tidak ada hal-hal lain yang berpotensi mengganggu konsentrasi kita, agar kita dapat merasakan hadirat Tuhan. Doa adalah nafas orang percaya. Benar, setuju, seratus. Tanpa doa, kita seperti kehilangan kontak dengan Dia yang menyediakan segalanya.
"Akan tetapi, carilah dahulu Kerajaan dan kebenaran-Nya, dan semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Matius 6:33, AYT)." Marilah kita setia dalam doa kepada Tuhan. Sembah Dia yang telah menyediakan segalanya. Jangan terlalu memusingkan diri dengan perkara-perkara duniawi yang memang membuat pusing kepala, tetapi pusatkan pikiran pada perkara-perkara kekal yang sudah disediakan oleh Allah. Tuhan Yesus memberkati.