Bagaimana Kita Membuat Kemajuan?
Saya pikir kebanyakan orang percaya setuju bahwa kesatuan alkitabiah adalah sesuatu yang perlu didoakan dan diusahakan. Anda mungkin tahu bahwa rekonsiliasi antara kelompok orang yang beragam adalah mimpi yang indah. Tetapi apakah gereja sudah mencapai kesatuan etnis yang kuat saat ini? Apakah Anda tahu bagaimana membuat kemajuan menuju rekonsiliasi rasial?
Sayangnya, jenis kesatuan yang diperjuangkan dalam Perjanjian Baru dan dicontohkan di gereja mula-mula terasa seperti masih jauh. Jika kita jujur, kita harus mengakui bahwa gereja Amerika masih mengalami perpecahan etnis yang serius.
Ceritanya panjang dan menyedihkan.
Saya yakin Anda pernah mendengar bahwa "waktu yang paling diskriminatif di Amerika adalah pukul 11:00 pada hari Minggu pagi." Tragisnya, efek dari ratusan tahun perbudakan dan warisan diskriminasi menciptakan jurang penuh sakit hati dan ketidakpercayaan. Selain itu, lanskap politik, sosial, dan media memperparah perpecahan kita, menciptakan ruang gema informasi dan opini. Alih-alih membangun jembatan menuju satu sama lain, rasanya seolah-olah retakan rasial terbuka lebih lebar dan lebih dalam -- bahkan di dalam gereja Injili.
Kalau kita jujur, hal itu mencoreng kesaksian kita.
Budaya kita tidak mengagumi persaudaraan lintas etnis. Tidak ada yang merasa perlu untuk membuat nama baru bagi orang Kristen karena kebersatuan kita yang di luar kebiasaan dunia. Selain itu, kebanyakan orang Kristen tidak yakin apa yang harus dilakukan tentang hal itu.

Banyak dari kita tidak tahu bagaimana membicarakannya. Dapat dimengerti bahwa kita takut membahas rekonsiliasi rasial karena ada begitu banyak ranjau darat. Kata-kata harus dipilih dengan hati-hati, dan kita takut mengatakan hal yang salah. Terkadang kita undur dari percakapan yang sulit karena kita tidak tahu harus berkata apa. Sangat mudah memicu masalah dalam hal ini dengan sebuah video di Facebook yang menyoroti insiden rasial, kata-kata kasar dari teman minoritas, perselisihan di media sosial, atau diskusi teologis tentang keadilan, dan ketakutan serta perpecahan yang semakin dalam.
Terlebih lagi, ketika saudara-saudari kita terluka oleh ketidakpekaan rasial atau perlakuan buruk, mereka mungkin tidak tahu bagaimana mengekspresikan rasa sakit mereka tanpa disalahpahami atau dipinggirkan. Mungkin mengungkapkan kesedihan telah mengakibatkan mereka difitnah atau dituduh berusaha mendapatkan perlakuan khusus karena ras mereka. Mereka mungkin menyimpulkan lebih baik mengubur rasa sakit itu -- lagi. Tanpa belas kasihan dari rekan-rekan seiman, frustrasi atau kepahitan akan dengan mudah berakar.
Jurang antara orang percaya semakin lebar.
Sebagian dari masalahnya adalah bahwa impian kita tentang kerukunan rasial melebihi upaya komunikasi kita. Gereja Injili masih belum menemukan suara yang sama. Setidaknya belum saat ini.
Bagaimana jika kita bisa mengambil langkah ke arah itu?
Satu suara
Dalam kitab Roma ketidaksepakatan yang mendalam berdasarkan budaya, latar belakang, dan preferensi mengancam untuk memecah gereja. Mereka menciptakan budaya yang tidak ramah di antara anggota. Garis pertempuran telah dibuat. Kelompok dibentuk. Emosi melonjak tinggi. Paulus memanggil mereka kepada visi yang lebih besar:
Semoga Allah, sumber kesabaran dan penghiburan memberimu anugerah untuk dapat hidup dalam kesehatian satu sama lain sesuai dengan Yesus Kristus, sehingga kamu bersama-sama dengan satu pikiran dan satu suara memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Kristus Yesus. Karena itu, terimalah satu sama lain, sama seperti Kristus juga menerima kamu demi kemuliaan Allah. (Rm. 15:5-7, AYT)
Menerima satu sama lain. Hidup dalam harmoni. Memuliakan Bapa dengan satu suara. Mencerminkan kesatuan Ketuhanan Tritunggal.
Itulah visinya: gereja yang beragam dan bersatu.
John Perkins, aktivis hak-hak sipil dan penulis One Blood, percaya bahwa gereja adalah tempat terbaik untuk rekonsiliasi rasial. Dia menulis: "Tidak ada institusi yang lebih diperlengkapi dan mampu membawa transformasi untuk tujuan rekonsiliasi selain gereja. Tapi kita perlu berusaha keras." [1] Saya pikir dia benar.
Meratap adalah tempat kita bisa memulai.
Kekristenan terlihat memukau bagi dunia dan kebanyakan orang meniru Yesus ketika identitas dan kesatuan kita dalam Injil lebih menonjol daripada identitas lainnya -- termasuk etnisitas kita. Dunia kita yang hancur perlu melihat visi ini dihayati dengan cara yang baru dan segar di dalam gereja.
Meskipun meratap tidak menyelesaikan semua masalah, itu adalah tempat untuk memulai. Demi rekonsiliasi rasial, saya mengundang Anda untuk merangkul visi surgawi yang lebih besar.
Mari, menangislah bersama saya.
Sebuah Doa Ratapan
Kami percaya Injil lebih besar daripada perpecahan kami.
Ya Tuhan, berapa lama lagi gereja-Mu akan terpecah menurut perbedaan rasial? Berapa lama efek permusuhan, ketidakadilan, dan keangkuhan yang tersisa akan menjadi bagian dari pengantin-Mu yang diberkati? Berapa lama, ya Tuhan, saudara dan saudari kulit putih saya akan memahami rasa sakit yang dialami oleh mereka yang memiliki pengalaman berbeda dari pengalaman kami? Berapa lama, ya Tuhan, saudara-saudari minoritas saya harus berjuang dengan ketidakpercayaan dan rasa dikucilkan?
Ya Allah, berilah kami hati untuk menangis bersama orang yang menangis. Berilah kami empati dan pengertian. Ciptakan kepercayaan di mana ada rasa sakit. Jadikan gereja-Mu pengantin yang bersatu seperti yang Engkau inginkan.
Perpecahan akibat ketidakpercayaan dan bias sejarah ini sangat dalam, ya Allah. Tanpa-Mu, tidak akan ada yang berubah. Dalam kesedihan dan keletihan kami, kami mengungkapkan harapan kami bahwa Yesus dapat mengubah hati kami dan mempersatukan gereja. Kami percaya Injil lebih besar daripada perpecahan kami. Dan kami merindukan hari ketika dunia akan memperhatikan bagaimana kami saling mengasihi. Jadi, tolonglah kami untuk bertemu satu sama lain dalam perjalanan penuh doa ini. Kami datang untuk belajar meratap. Dengarkan kami saat kami menangis bersama, agar kami dapat berjalan bersama.
Dalam nama Yesus, Raja kami. Amin. (t/Jing-Jing)
Catatan:
[1] John Perkins, One Blood: Parting Words to the Church on Race and Love (Chicago: Moody Publishers, 2018), 63.