Hubungan antara Doa, Kebangunan Rohani, dan Penginjilan

Konsep untuk mendoakan supaya setiap orang diselamatkan kedengarannya aneh karena kita biasanya mengasosiasikan doa dengan kebangunan rohani lebih daripada dengan penginjilan. Namun, mari kita uji sebentar ide kebangunan rohani kita.

Apabila hati diubahkan melalui kuasa Yesus Kristus yang menebus, sistem-sistem nilai pribadi juga berubah.

FacebookTwitterTelegramWhatsApp

Sewaktu kita memikirkan kebangunan rohani, pemikiran-pemikiran seperti apa yang muncul? Keintiman bersama Allah, kekudusan, penyembahan, pujian, dan tak terhalangi bersama orang-orang kudus lainnya. Benarkah? Apakah kita menyadari bahwa hal-hal tersebut dirasakan dengan lebih baik di surga? Kalau semua ini yang benar-benar sangat kita butuhkan, lebih baik saat ini juga kita meninggal dan segera menuju surga. Surga adalah tempat penyembahan, pujian, kekudusan, dan keintiman bersama Bapa akan mencapai tingkat yang sama sekali tidak bisa dibayangkan. Inilah sebabnya, kebangunan rohani harus berfokus pada kemuliaan Allah, dan sebagai hasilnya, penginjilan atas mereka yang terhilang. Kedua hal ini saling berkaitan erat karena Yesus dalam doa Imamat tinggi-Nya, menghubungkan kemuliaan Allah dengan keselamatan yang terhilang (Yoh. 17:20-23).

Sering kali ide kita tentang kebangunan rohani hanya melayani diri sendiri tidak alkitabiah. Suatu kebangunan rohani yang gagal membawa mereka yang terhilang kepada Yesus merupakan kebangunan rohani yang hanya melayani diri sendiri, berpusatkan pada kebutuhan dan keinginan manusia semata, bukan pada kemuliaan Allah. Kerap kali tangisan kita meminta kebangunan rohani memiliki pengharapan mutlak bahwa jika kebangunan tiba, bangku-bangku gereja kita akan penuh terisi, keuangan akan melimpah, konseling tidak akan terlalu menuntut lagi dan pelayanan secara umum akan menjadi lebih bisa dinikmati. Kita cenderung membatasi "kesembuhan negeri" yang dijanjikan dalam 2 Tawarikh 7:14 kepada kesembuhan gereja. Namun, kesembuhan negeri terutama menghendaki kesembuhan orang-orang yang terhilang. Merekalah "para pembawa virus" utama yang menyebarkan penyakit yang disebut dosa dengan konsekuensi-konsekuensinya yang menghancurkan. Semakin besar jumlah mereka yang datang kepada Kristus dan menjalani kehidupan kristiani dalam segala kesalehan dan martabat; semakin besar pula ruang lingkup kesembuhan negeri. Ekspresi kebangunan rohani yang paling akhir adalah pertobatan dari mereka yang belum diselamatkan.

Pada titik ini, kita terhalangi lebih lanjut oleh pandangan kultural yang dangkal serta perspektif historis yang kabur. Gagasan-gagasan kebangunan rohani kita kadang-kadang didikte oleh asumsi-asumsi teologis yang dibenci dalam konteks saat gereja dan pemerintah memerintah bersama-sama.

Pertama, kita memproyeksikan pada gereja Perjanjian Baru sebagai citra teokrasi Allah atas Israel.

Kedua, kita sering kali merasakan gereja menjadi satu dalam kemitraan dengan sesuatu yang disebut pemerintahan "kristiani." Yang pertama ini terjadi pada abad ke-4 di bawah pemerintahan Kaisar Konstantin dan akhirnya menuntun pada kesatuan gereja dan pemerintah selama Abad-Abad Pertengahan. Ini juga terjadi di Inggris pada abad ke-17 setelah perpecahan agama dengan Gereja Katolik. Di Amerika, hal ini dicampuradukkan lebih lanjut dengan kepercayaan bahwa Amerika adalah, dan masih sampai saat ini, sebuah bangsa Kristen.

Budaya Gereja

Selanjutnya, semua ini menuntun kita untuk mengasumsikan bahwa jika gereja disembuhkan, negara akan secara otomatis juga disembuhkan karena pengaruh gereja pada masyarakat. Tidak ada yang bisa lebih jauh lagi dari pola-pikir gereja mula-mula. Paulus dan Timotius beroperasi dalam sebuah dunia yang tak satu pun dari asumsi ini berlaku. Gereja sungguh-sungguh di pihak yang lemah dan tertindas, begitu sulitnya sehingga dalam banyak kasus terpaksa bergerak di bawah tanah. Menjadi martir adalah kemungkinan nyata bagi sebagian besar orang Kristen. Pemerintah dan masyarakat begitu korup sehingga, di mata gereja, satu-satunya cara untuk mengubah mereka adalah melalui pertobatan massal yang radikal. Dalam 1 Timotius 1:9-10, Paulus memberikan kepada kita gambaran yang jelas tentang macam-macam orang yang harus disertakan dalam doa-doa kita. "Yakni dengan keinsafan bahwa hukum Taurat itu bukanlah bagi orang yang benar, melainkan bagi orang durhaka dan orang lalim, bagi orang fasik dan orang berdosa, bagi orang duniawi dan yang tak beragama, bagi pembunuh bapa dan pembunuh ibu, bagi pembunuh pada umumnya, bagi orang cabul dan pemburit, bagi penculik, bagi pendusta, bagi orang makan sumpah dan seterusnya segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran sehat."

Inilah lingkungan yang sangat mewakili keadaan tatkala gereja bekerja dalam Dunia Ketiga dewasa ini. Seperti halnya gereja pada abad pertama, gereja di Dunia Ketiga dewasa ini menyadari bahwa hanya jika sejumlah besar tetangga mereka yang non-Kristen ditobatkan, tidak akan ada pengharapan bagi kesalehan di sisi surga ini. Bagi mereka, ini merupakan hal yang mutlak tidak bisa dinegosiasikan. Di mana pun di dunia Barat, dan terutama di Amerika Serikat, kita masih melekat pada gagasan bahwa kebangunan rohani akan terjadi jika kita memiliki lebih banyak pertemuan doa dan makan pagi kepresidenan, amandemen-amandemen konstitusional yang mengizinkan doa di sekolah-sekolah serta melarang aborsi, jika gereja terlibat dalam politik, dan jika kita kembali pada akar-akar kekristenan kita. Ada beberapa kebenaran dalam semuanya ini, tetapi masih jauh lebih banyak yang hilang. Hal-hal yang disebut sebagai akar-akar Kristen secara praktisnya tidak eksis sekarang ini, dan tidak ada jumlah perundang-undangan yang akan memastikan perubahan hati bagi mereka yang belum bertobat. Satu-satunya cara untuk bertindak demikian adalah menuntun mereka kepada Kristus. Setelah itu, dan hanya sesudahnya, maka segala kesalehan dan kelurusan hati akan meresapi negeri.

Gereja telah dipercayakan dengan sesuatu agar setiap politisi di bumi akan memberikan tangan dan kakinya memiliki: kuasa untuk melihat setiap hati diubahkan. Apabila hati diubahkan melalui kuasa Yesus Kristus yang menebus, sistem-sistem nilai pribadi juga berubah. Apabila nilai-nilai baru terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pemilihan-pemilihan, bangsa berubah menjadi lebih baik. Marilah kita tidak merendahkan kepenuhan Pentakosta ilahi seperti tercatat dalam Kisah pasal dua kepada upaya manusia untuk memperoleh pengaruh politik seperti diekspresikan oleh para murid dalam Kisah Para Rasul 1:6.

Download Audio

Diambil dari
Judul asli buku : That None Should Parish
Judul buku terjemahan : Supaya Tak Seorang pun Binasa
Penulis : Ed Silvoso
Penerjemah : Ester Anggawijaya
Penerbit : Harvest Publication House, Jakarta 2000
Halaman : 77 -- 81

Komentar