Kunjungi Situs Natal
https://natal.sabda.org
Sepasang insan muda saling mencintai. Cinta mereka seperti orang mabuk kepayang. Di rumah maupun di jalan, pagi maupun petang, si dia terus terbayang.
Sepasang suami istri yang sudah beberapa puluh tahun menikah pun saling mencintai. Namun, apakah suami istri ini mabuk cinta seperti muda-mudi tadi? Jelas tidak.
Cinta dapat dibedakan menjadi dua macam. Pada contoh muda-mudi itu, cinta masih merupakan cinta pesona. Pada taraf ini, cinta terutama bersifat emosional dan naluriah.
Sebaliknya, pada contoh suami istri itu, cinta telah berkembang menjadi kasih setia yang matang. Pada taraf ini cinta telah berkembang menjadi rasional.
Sejajar dengan contoh di atas, doa pun dapat dibedakan menjadi dua macam.
Pertama, doa yang bersifat emosional. Jika orang merasa hidupnya tertekan, besar kemungkinan doa yang timbul adalah jeritan instingstif. Doa menjadi ventilasi dari tekanan- tekanan emosional. Meskipun pada tiap kalimat orang menyerukan nama Allah, tetapi sebenarnya ia sedang memikirkan (baca: mengasihani) diri sendiri.
Kedua, doa yang telah berkembang menjadi rasional. Doa bukan semata-mata letupan perasaan, melainkan juga ungkapan akal budi, seperti yang dikatakan Paulus, "Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku..." (1 Kor. 14:14-15).
Apa perbedaan isi kedua macam doa itu? Doa yang emosional bersifat mendesak-desak. Keyakinan diri orang itu kuat, bahkan kadang-kadang berlebihan. Ia yakin bahwa terkabulnya doa tergantung dari faktor orang yang berdoa, yaitu kuatnya iman dan gigihnya doa. Kalau nanti ternyata doanya tidak terkabul, maka doanya menjadi semakin emosional lagi. Atau, dapat juga ia menjadi frustasi lalu menjadi ngambek. Sikap-sikap ini dapat dibandingkan dengan anak kecil yang meronta-ronta menangis dan berteriak meminta sesuatu kepada orang tuanya.
Sebaliknya, doa yang rasional bersifat realistis. Ia menyadari bahwa doa tidak selalu dapat terkabul. Ia menyadari bahwa terkabulnya doa, bukan tergantung dari faktor orang yang berdoa, melainkan sepenuhnya tergantung dari wewenang Allah. Karena itu, doanya tidak mendesak-desak, melainkan tenang dan pasrah.
Apa sebabnya orang berdoa secara emosional? Karena dalam diri orang dapat timbul kembali motif-motif dan reaksi-reaksi yang bersifat arkhais, artinya yang berasal dari masa kanak-kanak. Orang membayangkan Allah sebagai seorang ayah yang dapat "terbujuk" kalau anaknya meronta-ronta dan menangis. Akibat dari reaksi ini, doa dapat merosot menjadi suatu sikap regresi, yaitu sikap mundur kepada fase kanak-kanak.
Selain itu, doa emosional pun dapat timbul karena anggapan yang keliru tentang Allah. Orang mengira karena Allah Mahakuasa, maka Allah dapat mengabulkan doa. Padahal yang benar adalah sebaliknya: justru karena Allah Mahakuasa, maka Allah dapat mengabulkan doa tetapi dapat juga menolak doa.
Hubungan manusia dengan Allah adalah ibarat hubungan cinta. Pada taraf cinta pesona, yang terjadi adalah egoisme terselubung. Orang merasa Allah adalah miliknya dan pasti mengabulkan doanya. Allah dijadikan Gott fur mich (Allah untuk kepentingan diriku).
Pada taraf cinta yang matang, orang telah dapat melihat keadaan dengan sikap yang realistis. Orang menyadari bahwa bahwa Allah tidak dapat dimiliki atau dipengaruhi. Orang menyadari bahwa Allah berdaulat, sehingga Allah tidak berkewajiban mengabulkan suatu doa. Pada taraf ini Allah dihargai sebagai Allah yang mempunyai kedaulatan penuh. Allah dihargai sebagai Gott an sich (Allah dalam diri-Nya sendiri).
Pertumbuhan iman adalah pertumbuhan pandangan tentang Allah, dari Gott fur mich menjadi Gott an sich. Atau pertumbuhan dari cinta pesona menjadi cinta dewasa.
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | Selamat Pagi, Tuhan. |
Judul asli renungan | : | Cinta Pesona atau Cinta Dewasa? |
Penulis | : | Dr. Andar Ismail |
Penerbit | : | PT BPK Gunung Mulia. 2000. Jakarta. |
Halaman | : | 23 -- 25 |