Merayakan 30 tahun
melayani bersama
Memercayai Tuhan Ketika Dia Diam
Sekali lagi, kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit -- kali ini ke ruang gawat darurat; putri saya duduk di belakang, mengalami panas karena demam dan seperti kejang-kejang kedinginan. Nampaknya seakan-akan mobil kami tahu jalan karena kami sudah melewati jalur ini terlalu sering selama setahun terakhir berjuang melawan penyakitnya. Setengah perjalanan menuju ke sana, air mata mulai mengalir pada wajah saya saat saya merasakan kegelapan yang pekat menyelubungi saya. Ada suara yang nyaris kedengaran berkata, "Lihat, Allah tidak peduli padamu. Dia tidak menjawab doa-doamu; putrimu tidak membaik. Mengapa kamu tidak berhenti saja, dan mengutuki Allah!" Saya duduk di sana, dalam kegelapan -- sebagian dari diri saya memercayainya, tetapi jauh dalam hati, saya tahu itu tidak benar. "TIDAK," pikiran saya berteriak membalas. "Saya tidak akan mengutuk Allah -- di tengah doa-doa, pertanyaan yang tidak terjawab, dan penderitaan yang luar biasa, saya akan memilih dan tetap memilih untuk memercayai Dia.
Lukas 7:23 berkata, "Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku". Pernahkah Anda merasa dikecewakan oleh Allah, menatap ke surga dengan pandangan pikiran yang tidak percaya, "Bagaimana mungkin ini terjadi pada saya dan keluarga saya, pelayanan saya? Bagaimana mungkin Engkau mengizinkan ini, Tuhan?"
Kecewa artinya jengkel, terganggu atau marah: terhina; mengalami ketaksetujuan. Sering kali, mudah untuk merasa kecewa karena orang lain, tetapi saya tidak pernah sebelumnya memikirkan tentang merasa kecewa karena Allah. Akan tetapi, jika saya membiarkan diri sendiri melihat jauh ke dalam, saya tahu bahwa saya merasa jengkel, bahkan marah. Diam-diam, kita bisa marah kepada Allah, mungkin benci, bahkan terluka begitu dalam sehingga kita membangun tembok di antara diri kita dan Allah. Tidak diragukan, ada kalanya sangat sulit untuk tidak merasa kecewa karena Allah -- karena tampaknya Dia tidak bekerja atau kurang peduli ketika pencobaan yang tidak dipahami atau misteri yang tidak terpecahkan memasuki kehidupan kita, dan ketika keadaan yang sia-sia menggerogoti jiwa kita setiap hari.
Ayub adalah seorang yang tidak hanya mengalami sakit dan penderitaan, tetapi juga yang menolak untuk kecewa karena Allah, bahkan ketika orang lain menganjurkan begitu. Berapa banyak dari kita yang bisa memilih untuk tidak kecewa saat menghadapi penderitaan dan rasa kehilangan yang begitu berat? Di dalam Ayub 1:8 dan Ayub 2:3, Allah berkata kepada Iblis, "Tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan." Dengan kata lain, "seseorang yang akan setia kepada-Ku apa pun yang terjadi." Yang mengejutkan saya di sini adalah keyakinan Tuhan yang luar biasa pada diri Ayub.
Saya bertanya-tanya apakah Dia juga memiliki keyakinan yang sama pada diri saya? Saya mengajukan pada diri sendiri pertanyaan yang menusuk itu beberapa kali selama beberapa tahun belakangan ini di tengah kedukaan dan penderitaan tiap hari. Ini merupakan sebuah tantangan, tetapi kesulitan yang ada dalam kehidupan dan pelayanan memberi kita kesempatan untuk memberikan tanggapan terhadap hal terburuk yang bisa kita bayangkan terjadi pada kita dengan cara yang menghormati Allah, yang dimulai dengan menolak untuk kecewa. Ayub 1:22 berkata, "Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut". Dengan kata lain, dia tidak kecewa karena Allah. Ini haruslah menjadi keputusan setiap hari karena emosi kita yang rapuh akan mencobai kita untuk mengabaikan apa yang iman kita ketahui sebagai yang benar. Apa yang terjadi ketika kesembuhan tidak datang, penderitaan tidak pergi, kesedihan kita terus berlanjut selama bertahun-tahun? Setiap hari, kita harus merespons dengan setia -- tidak kecewa karena iman yang mengarah pada kemenangan.
Jika kita harus seperti Ayub, kita harus memercayai karakter Allah dan semua kebenaran yang kita tahu tentang Dia di tengah kegelapan. Kita percaya bahwa karakter-Nya baik dan bahwa Dia memegang kendali, mengetahui bahwa apa pun yang Dia izinkan dalam hidup kita adalah untuk kebaikan kita -- bukan apa pun yang Dia izinkan adalah baik. Keadaan kita tidak akan pernah bisa menjadi refleksi kebaikan Allah secara akurat.
Saya begitu ingin putri saya disembuhkan secara fisik, tetapi itu tidak terjadi sepenuhnya. Dengan demikian, hidup yang tidak kecewa berarti bahwa saya akan percaya kepada Allah sekalipun kesembuhan dan mukjizat tidak terjadi, walaupun doa saya yang sungguh-sungguh tidak juga dijawab, dan segala sesuatu di sekitar saya terkadang hanyalah keputusasaan. Saya tidak akan menuduh Allah melakukan kesalahan. Kita akan mampu hidup dengan tidak kecewa karena Allah dan atas hal-hal yang Dia izinkan terjadi dalam hidup kita jika kita memiliki pengenalan yang dalam tentang karakter-Nya. Apa pun yang iman kita katakan tentang Allah, demikianlah Dia.
Pada akhirnya, imanlah yang memampukan kita menjalankan hidup tanpa kekecewaan. Meskipun Dia membunuh saya, itulah satu-satunya hidup yang ingin saya jalani. (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Just Between Us |
Alamat situs | : | http://justbetweenus.org/faith/trusting-god/trusting-god-even-when-he-is-silent/ |
Judul asli artikel | : | Refusing To Be Offended |
Penulis artikel | : | Shelly Esser |
Tanggal akses | : | 18 Agustus 2017 |