Tanpa Koneksi

Dua bulan sudah Rina bersekolah di sekolah itu. Tiap hari sepulang dari sekolah, ia selalu bercerita tentang segala pengalamannya di sekolahnya yang baru itu. Kebanyakan, mengungkapkan rasa senang hatinya. Rina benar-benar telah betah di sekolah itu. Apalagi ia telah memunyai banyak teman.

Angka-angkanya pun dalam ulangan menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan di sekolahnya yang lama dahulu, yang terlalu banyak liburnya dan kurang disiplin pula.

Hati ibu mana yang tak senang melihat perkembangan anak yang menggembirakan. Begitu pula dengan ibu Rina. Bila saja anaknya itu selesai bercerita dan membuat pekerjaan rumahnya, si ibu sering tersenyum puas. Tersenyum karena terkenang masalah koneksi.

Jauh sebelum mereka akan pindah ke kota ini, teman-teman maupun keluarga ibu ini sudah memperingatkan, "Carilah sekolah yang baik bagi Rina supaya ia bisa langgeng menuntut ilmu di sekolah yang sama dan tidak perlu pindah-pindah. Itu bisa merugikannya."

Ya, memilih sekolah memang bukan hal yang mudah. Tetapi di kota itu yang paling harum namanya ialah sekolah CY. Dan ketika pertama kali dilihatnya, ia senang melihat betapa bersih dan terpelihara serta anggun penampilan gedung sekolah itu. Besar harapannya, bahwa mereka yang mengurus serta memelihara gedung sekolahnya, tekun dan cermat pula memimpin pendidikan di sekolah itu. Maka ke sekolah itulah, si ibu ingin memasukkan Rina.

Tapi, bagaimana caranya agar anaknya dapat diterima? Sekolah yang istimewa, biasanya persyaratan istimewa pula. Sedangkan anaknya bukan termasuk murid yang istimewa, sekalipun kecerdasannya di atas rata-rata. Dan keuangan mereka, sama sekali jauh di bawah "istimewa".

"Cari orang yang punya koneksi dengan pengurus sekolah itu," saran seorang iparnya yang rupa-rupanya sudah berpengalaman dalam hal-hal seperti itu. "Kalau sudah ada koneksi, baru bisa diusahakan anakmu masuk. Kalau tidak, jangan harap dia akan diterima."

Ciut hatinya semakin terasa ketika seorang teman yang diminta tolong karena penduduk asli kota itu, membalas suratnya, "Maaf saja, aku sendiri susah setengah mati ketika mendaftarkan anakku ke sekolah itu. Padahal cuma pindah dari Taman Kanak-Kanak ke SD. Lebih baik mencari sekolah lain saja, karena anak-anak pindahan dari luar kota biasanya ditolak."

Ia bingung. Bagaimana kalau anaknya benar-benar ditolak? Padahal sekolah itu -- disamping yang terbaik mutu pendidikannya menurut kata orang -- juga letaknya sangat dekat dengan rumah yang akan mereka tempati. Sehingga pergi pulangnya cukup dengan naik becak secara berlangganan. Ini akan menghemat biaya hidup mereka.

Tapi apa daya sekarang? Haruskah ia mengikuti saran iparnya, yakni menemui Ibu X di kota itu yang menjadi salah seorang anggota Badan Pengurus sekolah tersebut? Tapi, bukankah iparnya juga menambahkan bahwa ibu itu termasuk orang yang tinggi hati apalagi terhadap orang yang status sosialnya dianggap rendah. Ini berarti bahwa ia akan terpaksa untuk bermanis-manis mengambil muka di hadapan ibu X itu. Sedangkan ini justru bukan termasuk kepribadiannya. Ia tak sudi menjilat-jilat!

Malam itu ia berdoa, "Tuhan, saya tidak rela untuk bermuka-muka kepada orang yang tinggi hati. Saya tak rela mengandalkan diri pada bantuannya. Tetapi saya mau mengandalkan diri pada janji-Mu, Tuhan, bahwa Engkau akan selalu menolong dan menyertai kami. Karena itu, tolonglah kami agar Rina dapat diterima di sekolah CY itu."

Keesokan harinya, ia pun menghadap kepala sekolah tersebut. Dengan hati berdebar dan tanpa membonceng pada nama seorang koneksi. Sebentar saja kepala sekolah berbicara dengannya. Tidak disebut-sebutnya soal jumlah sumbangan, uang sekolah, atau lain-lain kewajiban yang sudah biasa dipungut dari seorang murid baru. Dan pada akhir pembicaraan yang tak sampai sepuluh menit itu, Kepala sekolah berkata, "Baik anak ibu kami terima!" Tak terlukiskan kegembiraan hatinya. Puji syukur dinaikkan kepada Tuhan yang tidak membutuhkan "koreksi"!

"Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah kepada pengertianmu sendiri." (Amsal 3:5)

Diambil dari:

Judul buku : Untaian Mutiara
Penulis : Betsy. T
Penerbit : Gandum Mas, Malang
Halaman : 119 -- 121

Komentar