Doa: Antara Teori dan Praktik

Doa sering diumpamakan sebagai bernapas secara rohani. Jika kita benar-benar menerima gambaran itu, tentu kita akan menghargai betapa besarnya anugerah yang telah Allah berikan kepada umat-Nya, dan betapa besar risiko yang kita datangkan apabila kita mengabaikan doa dalam kehidupan kita. Sungguhkah seperti itu pertimbangan dan perlakuan kita terhadap doa? Agaknya teori dan praktik tidak selalu sejalan. Mengapa bisa begitu? Mungkin karena pemahaman teorinya pun hanya sambil lalu, tidak dalam, sehingga tidak sungguh dihayati!

Bagaimana kaitannya hingga doa menjadi demikan hakiki dan vital? Doa terkait dengan fakta bahwa Allah yang adalah kasih adanya itu menciptakan manusia sebagai makhluk yang berpotensi menyambut dan merespons Allah dalam kasih juga. Manusia disebut Allah sebagai gambar dan rupa-Nya. Sedangkan Allah, ketika menciptakan manusia sebagai gambar dan rupa-Nya itu, menyebut diri-Nya: "kita". Banyak sekali isi Alkitab yang menegaskan bahwa Allah yang Esa itu adalah Allah yang berhakikat relasi. Allah kasih adanya! Ini yang dalam teologi Kristen diterjemahkan sebagai doktrin Tritunggal. Di dalam hakikat kekal-Nya, Allah adalah Bapa, Putra, dan Roh yang berkasih-kasihan. Jadi, sebagai gambar dan rupa Allah, manusia pun memiliki kekhususan, yaitu merupakan makhluk relasi. Dalam relasi dirinya, relasi sosialnya, relasinya dengan alam, manusia sebenarnya sedang mengungkapkan hakikat terdalamnya sebagai makhluk relasi yang berawal dari relasinya dengan Allah. Fakta Allah dan fakta manusia inilah yang menyebabkan doa menjadi suatu hal yang sangat hakiki dan vital dalam keberadaan manusia. Dalam pemahaman ini, bahkan doa lebih hakiki dan vital daripada diartikan sebagai napas rohani. Doa adalah ungkapan rohani dari relasi kita dengan Allah. Doa adalah komunikasi atau dialog manusia dengan Allah. Ketidaklancaran kehidupan doa adalah gejala ketidakberesan relasi kita dengan Allah.

Jika demikian hakiki dan vital, mengapa pada kenyataannya kita tidak spontan menghasrati doa? Mengapa kehidupan doa kita (komunikasi kita dengan Tuhan) tidak intim pada segala waktu? Karena menurut Alkitab, relasi kita tidak harmonis. Kejatuhan manusia ke dalam dosa pada intinya adalah untuk tidak berhubungan dengan Allah. Tidak heran apabila kita tidak menghasrati doa sebab pada intinya kita tidak memiliki hasrat yang murni akan Allah. Syukurlah bahwa Allah tetap berhasrat untuk bersekutu dengan ciptaan-Nya ini. Itu sebabnya Ia mendirikan perjanjian dengan Abraham yang pada puncaknya menghasilkan pendamaian antara diri-Nya dengan umat-Nya di dalam Yesus Kristus. Dengan pendamaian yang Yesus Kristus lakukan, pulihlah relasi kita dengan Allah, terbit pula hasrat kita dengan Allah -- kesadaran dan kerinduan untuk berdoa yang melaluinya kita menumbuhkan relasi kita dengan Allah.

Dengan demikian, berdoa adalah sesuatu yang jauh lebih dalam dan lebih luas daripada sekadar cara untuk meminta berbagai berkat bagi hidup atau mengalami kuasa Allah atas kebutuhan hidup. Inti doa adalah relasi, komunikasi dengan Allah, ada tempat bagi Allah mengomunikasikan diri-Nya juga pada kita, barulah doa itu menjadi bagian dari relasi yang riil. Inilah alasan mengapa Tuhan Yesus mengaitkan keadaan dipenuhi oleh firman sebagai syarat bagi doa yang berkenan kepada Allah. Dan hanya dengan demikian semua berkat dari relasi kita dengan Allah, yaitu berbagai akibat yang timbul dari pengenalan kita yang mendalam akan Allah, atau akibat dari semakin leluasanya Allah hadir dalam kehidupan kita, dapat kita alami. Dan segala berkat itu kita terima bukan karena kita memiliki iman yang hebat atau gigih dalam mengklaim Allah, melainkan karena iman, pengharapan, dan kasih kita dalam doa menyatu dengan kasih, hikmat, kuasa, dan rencana-Nya bagi kita.

Pengertian doa seperti inilah yang kita jumpai dalam berbagai kisah nyata kehidupan doa para tokoh Alkitab. Pada orang seperti Abraham, Musa, Samuel, Daud, Hizkia, Yeremia, Daniel, Yesus, dan Paulus, doa bukan soal cara, aturan, atau pun formula, tetapi komunikasi yang sangat menentukan vitalitas kehidupan dan karya mereka. Itu sebabnya bukan kebiasaan berdoa lima kali atau tujuh kali dalam sehari yang memberdayakan doa mereka, tetapi keintiman hubungan dengan Allah yang membuat mereka memiliki daya doa yang memenuhi seluruh kehidupan dan karya mereka sepanjang hidup. Tidak heran apabila doa bukan sesuatu yang menjadi beban bagi mereka, melainkan merupakan suatu kesukaan. Juga apabila mereka begitu dalam merasakan kebutuhan untuk berdoa dan untuk didoakan.

Alkitab dan doa, atau doa yang interaktif dengan firman Allah, adalah doa yang benar dari realita relasi yang intens antara Allah dan manusia secara timbal balik. Bagaimanakah doa Anda? Napas Anda sajakah yang mendengus di dalamnya, atau terdengar juga napas bicara Allah di dalamnya? Dalam hubungan yang intimkah Anda dengan Allah? Bagaimana kualitas relasi Anda dengan Allah terdengar dalam irama, sikap, isi, dan lingkup doa Anda sehari-hari? Bagaimana perhatian, arah hati, gerak misi Allah tercermin dalam doa-doa Anda? Doa kita hendaknya mencirikan bahwa seluruh hidup kita adalah dari, oleh, dan untuk Allah saja!

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Nama buletin : Partner, Tahun XXII, Edisi 4, Tahun 2008
Penulis : Paul Hidayat
Penerbit : Yayasan Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta 2008
Halaman : 1 -- 2 dan 12

Published in Publikasi e-Doa, e-Doa edisi Maret, Volume 2009, No. 1


Komentar