Kisah Kattrin

Keluarga petani itu baru saja mendapat informasi bahwa segerombolan teroris sedang bersiap-siap hendak menyerbu desa pada malam itu. Bulu tengkuk mereka berdiri membayangkan apa yang akan terjadi. Desa yang sedang tidur nyenyak itu akan segera porak-poranda dan menjadi lautan darah. Tetapi mereka merasa tak berdaya untuk menolong. Mereka diancam dan dipaksa bungkam. Dalam ketakutan yang mencekam itu, sang petani mengajak keluarganya berlutut. Mereka berdoa, "Tuhan, kami tidak dapat berbuat apa-apa, hanya Tuhanlah yang dapat menolong, kami hanya dapat berdoa ..." Pada saat itu, Kattrin, anak perempuan mereka yang kecil, menyelinap keluar. Ia berlari pontang-panting ke desa itu. Rumah demi rumah dibangunkannya. Ketika ia sedang berlari pulang, gerombolan itu datang. Kattrin ditembak dan roboh seketika. Tetapi semua penduduk desa itu berhasil mengungsi dan mereka semua selamat.

Itu bagian dari cerita Mutter Courage karya Bertolt Brecht, pengarang sandiwara kenamaan di dunia. Cerita ini mengajak kita berpikir tentang suatu aspek yang lain lagi tentang doa.

Pada saat yang genting itu, keluarga petani itu berkumpul untuk berdoa. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali berdoa. Kita dapat mengerti bagaimana terjepitnya keadaan mereka. Kita kagum bahwa dalam keadaan yang begitu menegangkan mereka tidak panik. Mereka berdoa.

Tetapi justru di sini letak persoalannya. Yang terjadi di sini adalah penyalahgunaan doa. Doa terlalu cepat dijadikan jalan terakhir menghadapi persoalan. Benarkah bahwa jalan lain sudah tidak ada lagi? Seringkali orang terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa mereka sudah tidak berdaya lagi. Ketika masih ada jalan yang belum dilihat, orang sudah menyerah, "Segala jalan sudah dicoba, sekarang kita cuma dapat berdoa". Dengan berdoa mereka merasa diri berserah, padahal sebenarnya mereka menyerah. Dan seringkali orang sudah menyerah sebelum bertempur. Dengan begitu, doa dijadikan alibi (keadaan hadir di tempat lain) atau alasan untuk membela diri bahwa ia tidak dapat berbuat lain kecuali berdoa.

Gereja di Eropa pernah menjadikan doa sebagai alibi. Ketika enam juta orang Yahudi dimusnahkan Hitler, hanya sebagian kecil gereja berani mengambil risiko untuk membela orang Yahudi. Seorang pemimpinnya adalah teolog Dietrich Bonhoeffer yang terkenal dengan khotbah-khotbahnya yang tajam mengecam keburukan pemerintah Hitler. Tetapi kebanyakan gereja tidak mau turun tangan. Mereka hanya berkata, "Kami sudah mendoakannya."

Tindakan lain yang kita lihat dalam sandiwara itu adalah tindakan Kattrin. Ketika semua orang sedang khusyuk berdoa, ia menyelinap keluar. Mungkin kalimat pertama dari doa itu sudah mengusik hatinya. "Kami tidak dapat berbuat apa-apa ..." Kattrin yang gesit itu langsung berpikir, "Apa betul tidak dapat berbuat apa-apa?" Lalu ia berbuat sesuatu.

Ketika doa itu baru saja dimulai, Kattrin berhenti berdoa. Tapi sebenarnya apakah ia berhenti berdoa? Ia melanjutkan doa itu, namun dalam bentuk yang lain. Meskipun itu bukan maksud si pengarang, namun cerita itu seolah-olah berbicara tentang hubungan gereja dengan dunia. Gereja tahu bahwa dunia sedang terancam bahaya: pencemaran lingkungan hidup, peledakan penduduk, perlombaan senjata, pelanggaran hak-hak asasi manusia, jurang kaya-miskin, dan sebagainya. Dalam keadaan seperti begini, apa yang diperbuat gereja? Apa gereja menjadi seperti keluarga petani itu yang hanya berkata, "Kami cuma dapat mendoakan." Ataukah gereja berbuat sesuatu seperti Kattrin?

Diambil dari :
Judul buku : Selamat Pagi, Tuhan!: 33 Renungan Tentang Doa
Penulis : Dr. Andar Ismail
Penerbit : BPK Gunung Mulia: Jakarta, 2002
Halaman : 26 - 28

Komentar