Menghitung Domba

Sudah sejak pukul sebelas ia berbaring di tempat tidur, namun sampai sekarang matanya masih terbuka lebar. Ketika beker di sisi tempat tidur diliriknya, angka menunjukkan pukul dua pagi. Esok pagi, pukul enam ia sudah harus bangun dan menyiapkan diri ke kantor.

Begitu ia ingat akan kantor, pikirannya terganggu kembali. Ah, kantor! Sudah lebih enam tahun ia bekerja di sebuah kantor swasta dalam keadaan baik-baik saja. Tiba-tiba setelah ia menjadi sekretaris pribadi Presiden Direktur, terdengar "isu-isu" di sekelilingnya, bahwa antara Pak M dan dirinya ada "main".

Ucapan ini menyakitkan hatinya. Matanya terasa panas dan air mata segera menetes di pipinya. Alangkah murah dan liciknya isu semacam itu, hasil pemikiran seorang yang pengecut serta berakhlak rendah! Tetapi apa dayanya menghadapi isu itu?

Jelas pekerjaannya memang mengharuskannya selalu berada dekat Pak M, sehubungan dengan tugas kantor. Hatinya tak tahan menderita, dan ia tidak menemukan jalan keluar -- terpaksa ia merencanakan membeberkan hal ini kepada Pak M. Ia akan minta pertimbangan pria ini.

Sejenak hatinya ragu. Pak M orang yang bersikap tegas. Kalau ada orang bersalah, tanpa ragu ia akan mengambil tindakan. Dan jika ia datang melapor penyebab kegelisahannya, pasti ia akan dipaksa oleh bosnya menyebutkan nama si pembuat isu yang iri hati itu. Dan nanti semuanya akan berlanjut. Api kebencian akan menyala lebih hebat dalam bentuk dendam kesumat.

Kepalanya mulai terasa berdenyut-denyut -- kurang tidur. Ia ingin cepat terlena. Ia bahkan sudah menelan sebutir pil tidur, namun kantuk yang ditunggu belum kunjung tiba. Apa yang harus dilakukannya? Menghitung domba seperti yang dianjurkan oleh sebuah buku kesehatan dari Barat? Hal ini sudah dilakukannya.

Matanya nanar memandang kamarnya yang gelap. Namun, di dinding di arah kepalanya, ada sebuah poster pemandangan pegunungan di Swiss. Ia sudah hafal akan gambar itu -- daerah perbukitan yang hijau segar dengan sebuah sungai kecil yang memantulkan warna langit. Sekelompok biri-biri sedang makan rumput, dijaga oleh beberapa ekor anjing gembala dan orang bertongkat. Ia pasti seorang gembala.

Seorang gembala?

Sejenak pikirannya dipusatkan pada gambar yang tak terlihat di tempat gelap. Pikirannya yang resah perlahan-lahan terasa ringan. Tiba-tiba ia mendengar teguran yang halus dan ramah, "Apa gunanya kau menghitung-hitung domba? Bicaralah kepada-Ku!" Ia menghela napas lega. "Terima kasih Tuhan, Gembalaku yang setia. Memang hatiku sedang risau. Dengarlah, Tuhanku...!"

Lalu ia pun menumpahkan segala isi hatinya kepada Gembalanya yang setia. Dan semakin banyak ia ungkapkan, semakin bersih pula hatinya dari keruwetan pikiran yang membebaninya. Hatinya kini merasa damai. Tanpa disadari, matanya terkatup dan ia terlelap. Bantal yang menyangga kepalanya seolah-olah berisi kedamaian Tuhan, sementara hatinya telah ditenangkan oleh janji-Nya -- "Aku besertamu selalu."

"Dengan tenteram aku mau membaringkan diri lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya Tuhan, yang membiarkan aku diam dengan aman. ("Mazmur 4:9)

Diambil dari:

Judul buku : Untaian Mutiara
Penulis : Betsy T
Penerbit : Gandum Mas, Malang
Halaman : 33 -- 35

Komentar