Kunjungi Situs Natal
https://natal.sabda.org
Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu. (Yeremia 29:7)
Pada tanggal 17 Agustus 2005, bangsa Indonesia merayakan genap 60 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi manusia, umur 60 tahun adalah umur memasuki masa lanjut usia, tapi bagi suatu negara, kelihatannya umur itu masih merupakan masa balita, apalagi kalau dibandingkan dengan kemerdekaan Amerika Serikat yang sudah 229 tahun merdeka atau kalau dibandingkan dengan kemerdekaan negara-negara tua lainnya.
Dapat dimaklumi mengapa situasi hukum di Indonesia belumlah mantap dan jalan, soalnya negeri paman Sam sendiri sekalipun dalam banyak segi aspek hukum sudah menjadi penyangga tatanan sosial, masalah hukum bukanlah sesuatu yang mudah dijadikan penyangga bangsa dan negara karena kompleksnya masalah yang timbul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi bagi negara kepulauan di Indonesia yang memiliki begitu banyak tradisi budaya dan kesukuan dengan agama masing-masing yang berbeda-beda.
Kita masih prihatin bahwa sekalipun sudah berumur 60 tahun, kemerdekaan Indonesia belumlah berhasil menegakkan kebenaran, keadilan maupun mendatangkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Dimana-mana kita melihat ketidakadilan, money politics masih menghantui dunia kekuasaan di Indonesia. Korupsi masih dan bahkan meluas dipraktekkan oleh segenap masyarakat Indonesia. Pilkada yang merupakan pesta demokrasi masih mencoreng wajah dunia perpolitikan di Indonesia dengan kerusuhan yang terjadi di banyak daerah yang disebabkan rasa adil masyarakat terkoyak oleh praktik perpolitikan dan perebutan kekuasaan yang tidak benar.
Dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang kaya, baik dalam komoditi pariwisatanya, kelautannya, pertaniannya, pertambangannya, potensi industrinya, apalagi sumber daya manusianya sehingga menjadi pengekspor TKI terbesar di dunia. Namun yang menjadi masalah adalah bahwa setelah 60 tahun merdeka, bangsa Indonesia belum terbebas dari individualisme dan kekayaan bangsa yang begitu besar karena korupsi hanya dinikmati sekelompok orang dan meninggalkan sebagian besar bangsa Indonesia menderita kekurangan yang makin tahun makin akut. Pemerataan dan keadilan sosial masih menjadi mimpi sampai diumur lansia dan jurang kaya miskin masih menganga lebar.
Pada umur kemerdekaan yang ke-60 tahun, masih saja kita lihat antrian BBM dan gejolak ekonomi karena kenaikan harga BBM yang baru naik dan kabarnya akan dinaikkan lagi, suatu tragedi yang menimpa bangsa padahal perut bumi Indonesia mengandung cadangan minyak yang besar. Sebagai akibatnya, harga-harga komoditi masih terus menerus merangkak naik, pelan tapi pasti, ditengah kurs dolar Amerika yang masih tetap tinggi.
Dalam bidang kesehatan rasanya pemerataan kesehatan masih juga menjadi mimpi, adanya bayi miskin yang ditolak masuk di beberapa rumah sakit di Jakarta baru-baru ini menunjukkan dengan jelas bahwa pelayanan kesehatan masih menjadi barang asing bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Kita patut prihatin bahwa penyakit-penyakit mematikan semacam yang disebabkan oleh flu burung, demam berdarah, masih terus saja mengintai.
Pendidikan lebih lagi kelihatannya masih parah. Kalau dahulu pendidikan rasanya begitu murah dan bisa dinikmati sebagian besar rakyat yang mau belajar, sekarang makin menjauh dengan adanya komersialisasi pendidikan, uang masuk yang cukup tinggi, dan komersialisasi pengadaan paket buku. Sungguh merupakan keprihatinan bangsa bahwa sekalipun Indonesia sudah mencapai umur kemerdekaan yang lanjut soal ini bukannya makin menjadi baik tetapi makin parah.
Keamanan belum dirasakan oleh banyak orang, perang antar warga, demo-demo menuntut keadilan, sampai teror-teror bom, masih saja menjadi duri bagi bangsa Indonesia, sehingga pembangunan tidak bisa berjalan dengan lancar. Banyak daerah di Indonesia masih bergejolak karena masalah konflik SARA, bahkan beberapa daerah memiliki potensi berusaha memisahkan diri. Rasanya keamanan masih jauh dari jangkauan bangsa Indonesia.
Dalam hal kerukunan agama ternyata bangsa Indonesia masih perlu banyak berbenah. Tumbuhnya fundamentalisme dan radikalisme agama makin mencoreng semangat kerukunan beragama yang selama ratusan tahun sebenarnya sudah dialami di bumi Nusantara ini. Kasus perusakan dan pembakaran rumah-rumah ibadah, bukan saja antar agama yang berbeda, tetapi juga melibatkan agama yang sama namun memiliki penafsiran aliran yang berbeda, masih sering dan sampai kini masih terus terjadi.
Semua hal itu masih menjadikan negara Indonesia sebagai negara pra-sejahtera bagi sebagian besar penduduknya, sekalipun sebagian kecil menikmatinya secara berkelimpahan. Indonesia terbilang sebagai negara beragama, namun mengapa agama dan ekonomi rakyatnya masih belum sejahtera?
Sampai dimanakah peran para pemimpin agama, khotbah-khotbah mereka dan pelayanan agama? Agama selama ini masih menjadi mimbar pelipur lara dan kurang greget memberantas koruptor dan korupsi di Indonesia. Apakah di Indonesia diperlukan kelahiran kembali Karl Marx yang pernah mengkritik agama sebagai candu bagi masyarakat? Agama yang sering dijadikan obat pembius untuk mengatasi penyakit masyarakat, padahal potensi agama sebenarnya sangat besar sebagai obat penyembuh suatu bangsa.
Umat Kristen terpanggil untuk berdoa dan berusaha bagi bangsanya, bangsa Indonesia, dan mengisi kemerdekaan itu dengan kerja keras dan pengabdian. Bagi mereka yang bekerja sebagai politikus, rasa keadilan dan kejujuran harus menjadi semangat untuk melayani sesamanya dan bukannya mengejar kekuasaan dan uang demi kenikmatan sendiri. Bagi para pengusaha seharusnya mereka selalu takut akan Tuhan sehingga menjalankan bisnisnya secara jujur demi kemajuan ekonomi bangsa Indonesia yang mensejahterakan rakyat.
Bagi para pendidik, mereka terpanggil untuk memberi pendidikan yang baik dan terjangkau bagi semua orang agar negara dan bangsa Indonesia maju pendidikannya dan berdampak bagi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya. Bagi rohaniwan, mereka terpanggil untuk menyadarkan umatnya agar prinsip kasih kepada sesama, keadilan dan kejujuran bisa menjadi napas hidup bangsa Indonesia yang terbilang mayoritasnya beragama itu.
60 tahun sudah cukup lama untuk menjadikan manusia Indonesia sebagai penunggu yang sabar, dan kesejahteraan kota memang perlu didoakan oleh umat beriman, namun terlebih dari itu harus diusahakan dengan kerajinan dan sekuat tenaga agar kesejahteraan bangsa Indonesia bisa dicapai pada dasawarsa ini atau kita akan kehilangan momentum memperoleh pemerintahan dengan para pejabatnya yang makin diperbaiki yang saat ini kita nikmati.
Saudara-saudara marilah kita berdoa untuk para pejabat pemerintahan, pengusaha dan segenap bangsa Indonesia, dan berusaha agar bangsa Indonesia memasuki tahun kemerdekaannya yang ke-61 dengan takut akan Tuhan dan mengasihi sesamanya. Dengan sikap iman dan mental demikian diharapkan Tuhan memperkenan bangsa Indonesia untuk maju menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera.
Amin!
Penulis: Herlianto