Bersinar

Saat kami menyantap makan malam sembari membaca kalender adven, tokoh orang Majus hampir tiba di kota Bethlehem. Kini giliran Sanna yang berusia 15 tahun untuk membaca dengan suara nyaring, namun pikirannya melayang-layang sehingga ketiga orang Majus tersebut sepertinya tidak bisa sampai ke palungan di kandang domba secepatnya.

Gigi saya bergemeretak saat adik laki-lakinya, Jonathan, menatap Sanna dengan wajah lucu, penuh rasa kemenangan melihat Sanna kehilangan konsentrasi dan tertawa terkekeh-kekeh. Laura, anak kami yang berusia 17 tahun, terlihat acuh tak acuh, mengunyah makanannya dengan santai.

Sekarang sudah tidak seperti dulu lagi, pikir saya berusaha menutupi kekecewaan. Biasanya rumah ini dipenuhi semangat Natal. Tetapi, anak-anak tidak antusias lagi melakukan tradisi tua yang biasa mereka tunggu-tunggu, seperti membaca kalender adven setiap malam.

Setelah makan malam, saya mengembalikan kalender ke pintu lemari es dan menyalakan mesin cuci piring, berangan-angan tentang kontes Natal tahunan yang biasa dipersiapkan anak-anak untuk Whitney dan saya. Saya membiarkan mereka mengambil kain linen dari lemari untuk dibuat kostum. Setiap tahun, tengkuk anjing kami yang berwarna hitam menjadi tiga orang Majus. Ekornya terkulai di alas tidurnya. Saat saya melihatnya berjalan, tua dan kaku, melintasi dapur menuju kandangnya, saya berpikir apakah anjing itu juga mengingat Natal.

Keadaan agak berubah keesokan harinya saat anak tertua kami, Wendy, pulang dari kampus. "Aku pulang!" suaranya terdengar saat ia membuka pintu dari dapur, mendorong koper besar melintasi lantai linoleum. Saya menyebut Wendy anak angin puyuh. Saya tak henti-hentinya mengingatkan Wendy agar melakukan segala sesuatu dengan santai dan dipikirkan dahulu, namun tak pernah didengar. Tetapi, Whitney dan saya sangat bersyukur atas kemurahan hatinya mengajak adik-adiknya untuk makan malam di luar malam ini. Ia memberi kami waktu untuk menyiapkan sentuhan akhir hari Natal di rumah. Rumah kami sudah bersih dari noda dan dipenuhi wangi jeruk lemon dan pinus, serta pai-pai yang baru dipanggang. Saya ingin memberikan yang terbaik pada saat kedatangan Anak Allah. Ketika Whitney akhirnya menyalakan lampu hias di pohon Natal, saya merasakan kegembiraan semangat Natal yang sudah tua. "Nah," kata saya, bersandar di bahu Whitney. "Sudah sempurna."

Keesokan harinya adalah malam Natal. Rumah disibukkan oleh keriuhan kami sekeluarga berdandan untuk pergi ke gereja. Whitney, Jonathan, dan saya mengikuti kebaktian pukul lima sore. Anak-anak perempuan saya memilih mengikuti kebaktian berikutnya. Namun, kami berjanji akan bertemu di sebuah restoran untuk makan malam. "Sampai ketemu pukul 7 nanti, ya," sahut Whitney sebelum kami pergi. Sesaat sebelum menutup pintu depan, saya melihat untuk terakhir kalinya hasil kerja kami yang rapi. Ya, sepertinya sudah terasa nuansa Natalnya.

Kebaktian pukul lima sore dipenuhi oleh jemaat. Para ibu yang gugup membantu anak-anak mereka mengenakan kostum. Saya merasa iri, mengingat bagaimana dulu menolong anak saya bersiap-siap mengikuti pertunjukan. Saya merasa lelah melakukan semua kerja keras mengikuti kebiasaan saat Natal. Lampu diredupkan dan panggung kecil berubah menjadi kandang hewan. Kesederhanaan kandang itu mengingatkan saya betapa bercahayanya Natal pertama berlangsung, namun hanya untuk sementara. Drama Natal diakhiri adegan bintang berkerlap-kerlip yang menuntun ketiga orang Majus menuju palungan bayi, tempat mereka berlutut sambil membawa hadiah. Seluruh jemaat menyanyikan lagu "We Three Kings of Orient Are", dan kebaktian pun usai.

Whitney memasuki lahan parkir di restoran dan mata saya dengan cepat mencari mobil Dodge tua yang biasa dipakai Wendy. Kami memasuki restoran. Lilin bulat menyala di rangkaian ranting pohon pinus yang ada di atas meja. Lagu Natal berkumandang dari pengeras suara yang tersembunyi. Ada di mana anak-anak perempuan saya?

Pelayan membawa kami ke meja dekat jendela. Saya sangat bersyukur bisa melihat ke arah parkir sehingga saya bisa berhenti khawatir di menit mobil Dodge tua memasuki tempat tersebut. Ketika mobil Wendy benar-benar tiba, amarah, dan kelegaan bertarung berusaha menguasai perasaan saya. Kemudian saya melihat wajah anak-anak perempuan saya yang murung saat melirik ke arah jendela dan masuk ke dalam restoran.

Mereka duduk di kursi yang tersedia. Saya tidak yakin ingin mendengar penjelasan yang sebentar lagi akan saya dengar. "Bu," Wendy memulai percakapan, meremas serbet hijau bertuliskan "SELAMAT NATAL", "Tadi terjadi kebakaran. Hanya kebakaran kecil di dapur, tetapi mengakibatkan jelaga hitam."

Daftar menu makanan jatuh dari tangan saya. "Seberapa besar jelaganya?"

Kemudian Wendy mulai menangis, raung tangisan yang sudah lama sekali tidak pernah saya lihat selama bertahun-tahun. Ia melelehkan lilin untuk mencabut bulu kakinya (cara mencukur yang ia tiru dari Perancis), dan seperti kebiasaannya yang selalu terburu-buru, Wendy berpikir sudah mematikan api di dapur, namun ternyata kenyataannya berbeda. Itulah awalnya panci menjadi terbakar. "Paling tidak rumah kita tidak terbakar seluruhnya," kata Laura menenangkan, melihat secercah sinar di langit yang gelap. "Puji Tuhan, kalian semua selamat," ujar Whitney.

"Aku benar-benar minta maaf, Bu," pinta Wendy.

Saat kami memasuki rumah, bau jelaga yang menyengat tercium dengan jelas. Lantai bawah berantakan -- langit-langit, dinding, perabotan rumah, dekorasi Natal, dan hiasan tentang kelahiran Kristus, semuanya bertebaran dan penuh kotoran berwarna hitam. Jelaga ternyata sampai ke ruangan ini, di perlengkapan makan dan peralatan dari perak, toples bumbu masak, dan makanan kalengan. Kue pai saya hancur berantakan. Sol sepatu kami menghitam gara-gara berjalan di lantai yang terkena jelaga. Tangan saya pun menjadi hitam.

Di lemari es, kalender adven dengan gambar orang Majus yang melekat di pintu terkena jelaga hitam, bintangnya sepertinya juga ikut terbakar. Cukup bagi saya melihat kerusakan akibat kebakaran ini. Kami beristirahat di lantai atas dan menghabiskan malam berdiam di rumah. Tetapi, bau asap sangat terasa dan dapur benar-benar tidak bisa digunakan, sehingga pada keesokan paginya kami terpaksa menelantarkan rumah. Pada hari Natal.

Satu-satunya tempat yang dapat kami pakai untuk makan malam adalah di kedai kopi sebuah hotel. Kami merasa malas memberitahu keadaan rumah kepada teman-teman. "Sepertinya tidak ada kamar kosong di hotel ini sekarang," komentar Whitney saat kami menyantap hamburger.

"Betul," tutur Laura menyetujui, "kurasa keadaan kita sama seperti di Bethlehem waktu dulu." Suami saya menyeringai dan anak-anak tertawa -- saya juga berusaha tertawa, betul-betul berusaha, namun sulit. Rasa marah masih menguasai saya. Wendy sudah meminta maaf. Ia merasa menyesal dan telah belajar dari kejadian tersebut, ujarnya kepada saya. Saya katakan kepada Wendy bahwa saya telah memaafkannya. Perusahaan asuransi membayar semua kerusakan, bahkan biaya menginap kami di hotel sampai lantai bawah selesai dibersihkan dan dicat kembali. Namun, di hati saya masih berkecamuk perasaan marah yang sepertinya bertambah besar setiap kali saya berpikir tentang Natal keluarga yang berantakan. Hancur berantakan.

Keesokan harinya, kami sekeluarga pergi untuk bermain boling. Tetapi, saya tidak ikut. "Kamu saja yang pergi," ujar saya kepada Whitney. "Aku perlu waktu untuk sendirian." Wendy meremas tangan saya sesaat sebelum mereka menutup pintu kamar.

Setelah mereka pergi, saya mengambil mantel dan berjalan menuju rumah, berpikir untuk mengambil beberapa hiasan Natal dan membersihkannya sebisa saya. Saya perlu melakukan sesuatu.

Kabut dan gerimis menyelimuti rumah saat saya berada di tempat parkir. Di dalam rumah, udara masih berbau asap. Sepertinya noda 2jelaga bertambah banyak. Rumah saya terasa pengap dan menyedihkan. Saya membuat kesalahan dengan kembali ke rumah.

Saya mulai mencabut hiasan-hiasan dari pohon Natal dan menggosoknya hingga bersih dengan kain lap. Dengan cepat, tangan saya menjadi hitam, hidung saya dipenuhi jelaga. Apakah ini benar-benar tempat sempurna yang sama dengan tempat saat saya dan Whitney berdiri dan merasakan kedatangan Kristus?

Ornamen-ornamen Natal jatuh dari jemari tangan saat mata saya dipenuhi air mata dan mengalir turun di pipi saya yang penuh kotoran. Saya memang sudah merasakan sesuatu yang tak biasa di Natal kali ini. Bahkan sebelum kebakaran terjadi. Anak-anak terlihat berbeda -- lebih tua dan lesu. Tak satu pun dari mereka yang peduli terhadap hiasan Natal yang saya persiapkan dengan hati-hati. Saya mendekat ke sebuah kursi dan menghempaskan badan di atasnya.

Kemudian mata saya melihat ke arah "creche" (boneka Bayi Yesus di palungan, yang biasanya dikelilingi oleh figur Maria, Yusuf, para gembala, binatang, dan para Majus). Secara naluriah, saya meraihnya dengan satu tangan sambil membersihkan pipi yang penuh bekas tetesan air mata dengan tangan lainnya. Saya menarik boneka bayi Yesus dari palungan-Nya. Boneka itu berada di telapak tangan saya, terlihat abu-abu akibat jelaga, berantakan, sama seperti semua benda lainnya di ruangan ini, seperti juga keluarga saya pada Natal ini. Saya menggosokkan boneka itu di lengan baju denim tua saya. Air mata saya turut membantu membersihkan beberapa noda kotoran. Saya menyekanya sekali lagi dan lagi. Saya ingin paling tidak boneka ini bisa menjadi bersih, sempurna. Akhirnya boneka Kristus ini bersinar.

Dan kemudian saya mulai merasakannya, untuk pertama kalinya sepanjang tahun ini, semangat Natal. Luar biasa, pikir saya, bagaimana boneka kecil ini, diseka hingga bersih, bersinar mengatasi semua hal.

Tidak ada hiasan saat Ia turun dari surga di Natal pertama. Dunia ini berantakan, sama sekali tidak sempurna, sama seperti saat ini. Tapi, hal itu tidak menghalangi kasih Allah bagi kita tercurah dari Bethlehem.

Perayaan Natal tak pernah sama. Senantiasa berubah dari tahun ke tahun, dan tak pernah berjalan benar-benar sempurna, tak peduli betapa besarnya usaha kita untuk membuatnya sempurna. Hal yang sempurna adalah keajaiban yang terjadi di Bethlehem 2000 tahun yang lalu dan kasih Allah yang terus tercurah di tengah kekacauan manusia yang tak sempurna; Natal adalah menemukan pancaran Bayi Kristus di tengah-tengah kehidupan yang menyesakkan.

Setelah mengucapkan doa ucapan syukur, saya dengan hati-hati meletakkan kembali Bayi Kristus ke dalam palungan. Acara bersih-bersih bisa menunggu untuk dilanjutkan di kemudian hari. Saya harus menemukan Whitney dan anak-anak. Saya tahu mereka mungkin sedang menyantap hamburger di kedai kopi hotel. Saya tak sabar bergabung bersama mereka

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Guideposts bagi Jiwa: Kisah-Kisah Iman Natal
Judul asli buku : Guideposts for The Spirit: Christmas Stories of Faith
Penulis : Shari Smyth
Penerjemah : Mary N. Rondonuwu
Penerbit : Gospel Press, Batam 2006
Halaman : 261 -- 271

Dipublikasikan di: http://wanita.sabda.org/bersinar

Komentar