Kunjungi Situs Natal
https://natal.sabda.org
"Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu. Kata-Nya: 'Dalam sebuah kota ada seorang hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorangpun. Di kota itu ada seorang janda yang selalu datang kepada hakim itu dan berkata: Belalah hakku terhadap lawanku. Berapa waktu lamanya hakim itu menolak tetapi kemudian ia berkata dalam hatinya: Walaupun aku tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorangpun, namun karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku membenarkan dia, supaya jangan terus saja ia datang dan akhirnya menyerang aku.' Kata Tuhan: 'Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu! Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang dan malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia akan mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? Aku berkata kepadamu: Ia akan segera membenarkan mereka. Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang adakah Ia mendapati iman di bumi?'" (Lukas 18:1-8)
Melalui perumpamaan yang dikemukakan-Nya kepada murid-murid-Nya, Tuhan Yesus mengingatkan bahwa doa merupakan pergumulan yang menuntut keuletan dan ketangguhan. Melalui perumpamaan ini, ada beberapa hal yang perlu direnungankan. Sebagai orang percaya, kita tahu apa yang harus kita perbuat saat bergumul dan berdoa kepada Allah. Pertama, Tuhan Yesus mengawali perumpamaan-Nya dengan kalimat pembuka yang menegaskan, agar kita selalu berdoa dan berjaga-jaga dengan tidak jemu-jemu. Bilamana doa hanya merupakan kewajiban atau tanggung jawab kekristenan saja, atau dapat pula di katakan hanya merupakan bagian dari tata keagamaan belaka, maka doa akan menjadi suatu beban berat dan sulit untuk dilakukan.
Bagi banyak orang, doa merupakan pekerjaan yang membosankan; apalagi jika orang itu tengah bergumul dan mengharapkan pertolongan dari Tuhan. Setelah sekian lama ia bergumul dan tidak ada tanda-tanda akan datangnya pertolongan, rasa jemu, kesal, dan kecewa biasanya mulai menjangkiti hatinya. Saat jiwa dalam kondisi tidak stabil seperti ini, kekecewaan terhadap Tuhan akan semakin bertambah-tambah. Kekecewaan seseorang terhadap Tuhan karena doanya tidak terwujud seperti yang ia inginkan terjadi karena orang tersebut tidak mengerti dengan benar arti atau presepsi doa yang sesungguhnya. Kalau saja ia mengerti, kekecewaan itu tidak perlu terjadi karena kekecewaan terhadap Tuhan hanya akan memperuncing persoalan.
Melalui perumpamaan tentang seorang janda yang datang kepada hakim yang lalim ini, kita dapat belajar banyak hal. Perhatikan bagaimana kegigihan janda itu dalam berjuang dan memohon kepada si hakim lalim, agar ia bersedia memenangkan perkaranya. Meskipun sudah berulang kali datang dan ditolak, janda ini tidak menyerah begitu saja. Sebaliknya, ia tetap maju dan berusaha untuk meluluhkan hati si hakim. Janda ini tidak memedulikan harga diri atau perasaan kecewa karena ditolak dan tidak dihargai. Sekalipun berulang kali ditolak, penolakan bukanlah benteng terakhir yang tidak mungkin dapat diterobos. Bagi sang janda, setiap penolakan merupakan keberhasilan yang tertunda, bukan akhir dari segala usahanya. Sekalipun ia hanya seorang janda, tidak ada suami yang dapat membantunya memperjuangkan perkara, bahkan tanpa dukungan dari siapa pun, ia masih memiliki dukungan dari dirinya sendiri yaitu tekad dan kemauan keras untuk menang dan berhasil! Olehnya, segala perasaan yang dapat meracuni semangat dan kegigihan hatinya, ia tepis jauh-jauh. Ia tahu persis kegigihannya pasti membuahkan hasil.
Sang janda itu tidak peduli seberapa lalim hakim yang harus dihadapinya. Entah hakim lalim itu masih memunyai rasa belas kasihan atau tidak, ia tidak peduli. Bagi si janda, yang penting saat ini adalah berusaha dan berjuang dengan gigih untuk memenangkan perkaranya karena hanya itulah harapan yang tersisa di dalam hidupnya. Sebagai orang beriman, kita juga harus memahami makna kegigihan dalam iman Kristen, sebagaimana digambarkan oleh si janda ini dalam perumpamaan yang dikisahkan oleh Tuhan Yesus. Tuhan mengingatkan kita bahwa doa adalah perjuangan iman. Di dalam perjuangan, kita harus memiliki modal yang bernama tekad dan kemauan keras serta siap menghadapi berbagai risiko.
Di dalam Alkitab, banyak diberikan contoh tentang tokoh pejuang iman yang dengan gigih berdoa kepada Tuhan. Sekalipun telah berseru-seru kepada Allah dan seolah-olah tidak memperoleh hasil dari jeritan dan seruannya, mereka tidak menyerah begitu saja. Sebaliknya, mereka tetap maju, bertelut di hadapan Allah, dan berseru memanggil nama-Nya dengan pengharapan agar tangan-Nya terulur menolongnya. Seperti yang dilakukan Daud tatkala ia berdoa kepada Tuhan, "Berapa lama lagi TUHAN, Kau lupakan aku terus menerus? Berapa lama lagi Kau sembunyikan wajah-Mu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?" (Mazmur 13:2-3)
Melalui seruan dalam ayat tersebut, kita dapat mengetahui betapa hebat ketakutan dan kesulitan yang tengah dialami oleh sang pendoa -- Daud. Empat kali ia berseru dan bertanya kepada Allah, dengan kalimat pembuka pertanyaan yang menyatakan kesabarannya dalam penantian yang seolah tanpa kepastian. "Berapa lama lagi, TUHAN, Kau lupakan aku terus menerus?" Setelah sekian lama berdoa dan seolah-olah tidak mendapat tanggapan apa-apa dari Tuhan, ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran mulai merayapi hati Daud. Ia bertanya-tanya di dalam hati, apakah benar Tuhan telah melupakannya sehingga Ia tidak lagi sudi mendengarkan dan memedulikan hamba yang diurapi-Nya?
Tidak biasanya Tuhan berbuat demikian kepada Daud. Tetapi mengapa kini Ia seolah-olah telah mencampakkannya dan melupakannya? Mengapa seolah Tuhan tidak memedulikan permohonannya lagi? Benarkah Allah telah melupakannya? Seandainya benar demikian, bagi Daud masih ada kesempatan untuk memohon kepada-Nya. Oleh sebab itu, setelah satu kali memohon dan seolah telah dilupakan Allah, dengan bermodalkan iman dan keyakinan bahwa kasih setia Allah kekal selamanya, Daud berkata, "Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun." (Mazmur 100:5) Daud tidak menyerah begitu saja.
Saat ia masih menjadi seorang gembala domba milik keluarganya, Allah dengan kasih setia-Nya telah memanggilnya dan mengurapinya serta mengangkatnya menjadi raja atas umat-Nya. TUHAN juga yang telah membuat tangannya terampil dan selalu memenangkan peperangan, sehingga Goliat dan pasukannya dikalahkan oleh pertolongan Allah. Bagi Daud, tidak ada alasan untuk tidak tetap bersandar kepada pertolongan dan kasih setia Allah. Terlalu banyak hal yang ajaib yang telah Allah perbuat bagi dirinya. Berbekalkan pengharapan itulah, untuk kedua kalinya, ia datang kembali kepada Allah dan memohon belas kasih-Nya, "Berapa lama lagi Kau sembunyikan wajahMu terhadap aku?" Atau dengan kata lain, Daud ingin bertanya sampai kapan ia harus menanti tanpa kepastian? Mungkinkah Tuhan sudah bosan atau jemu melihat wajah Daud yang setiap kali berseru dan memanggil Dia, sehingga Allah menyembunyikan wajah-Nya dan tidak berkenan memandang Daud? Sampai kapankah Tuhan akan tetap bersikap tidak peduli kepadanya?
Bilamana Tuhan sudah menyembunyikan wajah-Nya dan tidak lagi mau peduli, kepada siapa lagi Daud harus berseru? Kenyataan seperti yang sedang dialami Daud memang sangat menyakitkan. Dalam kondisi yang sangat kritis seperti ini, hanya Tuhanlah satu-satunya pertolongan. Namun, kini Ia tidak berkenan ditemui, bahkan menyembunyikan wajah-Nya. Walaupun demikian, Daud tidak menyerah. Ia tidak ingin terperangkap oleh perasaan hatinya. Ia tidak ingin memunyai praduga yang salah terhadap Allah. Sebab itu, ia berseru dan bertanya kembali, "Berapa lama lagi aku harus menaruh kekhawatiran dalam diriku dan bersedih hati sepanjang hari?" Sampai kapan harus terombang-ambing dalam penantian yang tiada berujung pangkal ini? Sampai kapan kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan, beramai-ramai berkecamuk dan menggerogoti jiwa? Sampai kapan kenyataan pahit ini akan berlalu dan bilakah tangan Allah akan terulur untuk menolong?
Tenggorokan serasa telah kering dan air mata pun turut mengering. Entah sampai kapan kenyataan pahit seperti ini akan berlangsung. Jeritan dan seruan yang telah ditujukan kepada Tuhan, seolah membentur pada tembok bisu yang tidak mampu memberi tanggapan apa-apa, sementara musuh semakin mendekat dan kegarangannya semakin menjadikan hati ini hancur tanpa pengharapan. Sekalipun tak satu pun dari jerit dan permohonan Daud yang mendapat tanggapan dari Allah, namun benarkah Allah telah meninggalkan dan tidak peduli lagi kepada Daud, orang yang dipilih dan diurapi-Nya sendiri itu? Walaupun demikian Daud tidak menyerah begitu saja. Ia masih berharap dan bersandar kepada Allah karena ia tahu dan sadar dengan segenap hati bahwa Tuhan tetaplah satu-satunya pertolongan yang dapat diandalkan.
Untuk keempat kalinya, ia bertanya kepada Allah, "Berapa Lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?" Ketika jiwanya mulai tertekan, Daud masih memiliki penghiburan lain. Dengan cara mengingat-ingat perbuatan baik yang dilakukan TUHAN di masa lalu, ia memperoleh kekuatan baru untuk berharap kepada Allah. Sama seperti yang tengah dialami oleh Bani Korah, tatkala mereka tengah ketakutan di padang belantara nan gersang, di mana musuh mengepung sambil mengolok-olok dan mengejek, bahwa seolah-olah Allah Israel tidak mampu lagi berbuat apa-apa untuk umat-Nya: "Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah? Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: 'Di mana Allahmu?' Mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya. Penolongku dan Allahku! Jiwaku tertekan dalam diriku, sebab itu aku teringat kepada-Mu dari tanah sungai Yordan dan pegunungan Hermon dan gunung Mizar." (Mazmur 42:3-4, 6-7)
Orang-orang beriman senantiasa tetap akan memiliki pengharapan kepada Allah, sekalipun seolah-olah Tuhan tidak memberi tanggapan terhadap doa dan seruan umat-Nya. Itu tidak berarti bahwa tidak ada pengharapan untuk memperoleh pertolongan dari Allah. Melalui sikap dan kegigihan Daud di dalam doanya, kita memperoleh suatu pelajaran berharga. Doa bukanlah sekadar sarana untuk memaksa tangan Allah supaya terulur untuk mengatasi persoalan yang tengah kita hadapi. Doa juga bukan merupakan sarana untuk menuntut atau menyudutkan Allah karena janji-janji-Nya kepada kita. Memang benar bahwa orang beriman hidup dari iman, yaitu bersandar kepada janji-janji Allah. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa janji Allah bukanlah alat yang dapat kita gunakan untuk memaksa Allah menjawab dan memenuhi keinginan kita.
Oleh karena itu, kita harus mengerti dengan benar akan presepsi doa yang sesungguhnya. Doa adalah perjuangan iman, di mana orang yang tengah berdoa harus memotivasi dirinya dengan tekad dan kegigihan untuk tetap berharap dan bersandar kepada Allah. Sekalipun seolah Allah tidak memberi tanggapan, tidak berarti bahwa pendoa harus menyerah begitu saja. Oleh sebab itu, sekalipun sudah empat kali ia berseru dan tidak memperoleh jawaban, Daud masih tetap memiliki keyakinan, iman, dan pengharapan kepada Allah: "Pandanglah kiranya, jawablah aku, Ya TUHAN, Allahku! Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati, supaya musuhku jangan berkata: 'Aku telah mengalahkan dia,' dan lawan-lawanku bersorak-sorak, apabila aku goyah." (Mazmur 13:4)
Dalam Mazmur 13:4-5, dengan tegas Daud menunjukkan sikapnya yang konsisten dan imannya yang stabil. Ia pun berseru dan memproklamasikan bahwa Tuhan tetap sebagai Allahnya. Tidak ada Allah lain yang dapat menggantikan kedudukan Allah. Sekalipun segala sesuatunya tampak suram tanpa pengharapan, "Sekalipun Engkau belum datang untuk menolong aku, Engkau, TUHAN, tetaplah Allahku. Allahku bukanlah kekuatanku sendiri. Allahku bukanlah hartaku. Allahku bukanlah kekuasaanku. Allahku satu-satunya tetaplah Engkau, TUHAN! Bagaimanapun keadaanku, Engkau tetaplah Allahku! Tempatku untuk mengadu dan berseru meminta pertolongan! Demikianlah pengakuan Daud, baginya Allah adalah segala-galanya.
Kerinduan untuk menyaksikan perbuatan tangan-Nya yang dahsyat dan campur tangan Allah di dalam mengatasi kesulitan yang tengah di hadapinya tetaplah membara. Meski telah sekian lama menanti tanpa kepastian, Daud tetap menanti dengan sabar serta tetap miliki pengharapan kepada-Nya. Dengan segenap hati ia menyadari bahwa waktu Tuhan bukan waktunya, dan cara-Nya untuk bertindak tidak dapat diatur oleh kebutuhan atau kehendak Daud. "Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yesaya 55:8-9)
Diambil dan disunting dari:
Judul majalah | : | Pukat, Edisi Mei - Juni 1997 |
Penulis | : | Pdp. Itnawanto |
Penerbit | : | GBI Mawar Sharon, Jakarta 1997 |
Halaman | : | 51 -- 54 |