Kunjungi Situs Natal
https://natal.sabda.org
Seorang pendoa syafaat tidak dibentuk mulai dengan suatu beban untuk berdoa, melainkan dengan suatu beban untuk mengasihi -- suatu beban yang pada akhirnya akan memimpin pendoa syafaat itu kepada suatu kegiatan doa penuh belas kasihan yang sangat dalam yang mengalir ke luar dari tujuh fungsi doa syafaat.
(Fungsi pertama dan kedua dapat Anda baca pada edisi 19)
Doa syafaat adalah tindakan untuk menjadi sama dengan orang lain. Seorang pendoa syafaat yang telah menyerahkan diri sepenuhnya untuk tugas tersebut seringkali mendapatkan bahwa keterlibatan dengan orang lain sangat memengaruhi pola hidupnya. Sebagaimana Paulus mengingatkan orang-orang percaya di Korintus: "Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka." (1 Korintus 9:19-20a; 22).
Baik roh melayani maupun roh berperang, keduanya terkait pada roh pengindentifikasian. Melayani adalah tunduk kepada dan menolong orang lain. Berperang demi orang lain adalah masuk ke dalam peperangan rohani dan menangkis serangan-serangan setan. Pelayanan seperti itu dengan jelas memerlukan roh untuk menjadi sama dengan mereka yang membutuhkan disertai dengan kemauan untuk menyesuaikan dengan gaya hidup seseorang, jika perlu, untuk menolong memenuhi kebutuhan tersebut. Apa artinya menjadi sama dengan seseorang dalam doa syafaat? Apakah itu berarti menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain, bahkan sampai kepada titik menyangkal diri sendiri apa pun yang diperlukan untuk menolong meringankan kebutuhan tersebut. Sebagai contoh, para pendoa syafaat belajar untuk mendengarkan "yang tersirat" ke mana pun mereka pergi. Pembicaraan yang biasa sesungguhnya dapat menjadi sebuah daftar doa yang tidak tertulis bagi pendoa syafaat yang peka.
Belajar untuk menjadi sama dengan orang lain dalam doa adalah suatu pelajaran utama yang unik yang Tuhan ajarkan kepada saya sepuluh tahun yang lalu. Selama berhari-hari, berita-berita dalam surat kabar dan televisi dipenuhi dengan rincian mengenai keadaan sandera yang menyangkut 153 siswa sekolah dasar yang disandera oleh teroris di Negeri Belanda. Para teroris mengancam akan membunuh seorang anak setiap kali jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Sejak hari terjadinya krisis saya mohon kepada Tuhan untuk melindungi anak-anak tersebut dan agar mereka dapat dibebaskan dengan selamat. Lalu terjadilah hal yang aneh. Beberapa hari setelah krisis terjadi, ancaman para teroris semakin bertambah. Hari itu, pagi-pagi sekali, di kapel doa saya yang terletak di halaman belakang terjadi hal yang luar biasa. Pikiran saya dipenuhi dengan sebuah gambar. Tetapi itu lebih dari sekadar gambar mati .... gambar itu hidup dan saya berada di dalamnya. Saya berdiri di sekolah dengan 153 siswa yang disandera tersebut. Saya dapat melihat anak laki-laki dan perempuan dengan mata rohani saya. Tetapi kemudian saya melihat sesuatu yang mengejutkan. Hanya 151 siswa yang berkebangsaan Belanda; yang dua lainnya adalah putri kami, Dena dan Giner, yang masing-masing berusia enam dan sembilan tahun.
Secara alamiah saya tahu hal ini tidak mungkin. Kedua anak gadis kami berada kurang dari seratus meter jauhnya, mereka sedang terlelap tidur di atas tempat tidur yang nyaman. Tetapi saya lupa akan hal tersebut. Saya telah masuk ke dalam pesan seorang pendoa syafaat yang menjadi sama dengan seseorang dan Roh Kudus telah mendorong saya ke dalam suatu doa yang sungguh-sungguh yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Perasaan marah meliputi saya dan saya mulai memerintahkan para teroris untuk melepaskan anak-anak. Saya memukulkan tinju saya pada telapak tangan saya yang lain ketika saya berdoa. Saya mengacungkan jari saya dengan otoritas ketika saya memerintahkan kepada mereka untuk melepaskan anak-anak. Saya menangis. Saya berteriak. Saya gemetar. Dan tiba-tiba saya merasa menang. Sebagaimana doa itu tiba-tiba saja terjadi demikian pula dengan tiba-tiba doa itu berhenti.
Tidak lama setelah itu saya meninggalkan kapel doa saya di halaman belakang dan saya menuju ke kantor saya. Rasa menang itu begitu nyata sehingga saya tidak memikirkannya lagi sampai ketika saya duduk di meja makan malam hari itu bersama istri dan anak-anak kami. Pesawat televisi dibiarkan menyala di ruang keluarga dan saya dapat melihat ke layarnya dari sudut mata saya. Saya sedang menyuapkan satu sendok penuh kentang ke mulut saya ketika siaran berita dimulai. Pembawa berita, Walter Cronkite, mulai dengan kata-kata, "Kami memunyai berita gembira dari Negeri Belanda!" Saya terpaku dan berbalik melihat ke layar televisi. "Kami baru saja menerima kabar bahwa telah terjadi suatu terobosan dalam krisis penyanderaan yang terjadi di Negeri Belanda. Tiga dari 153 orang anak telah dibebaskan," Cronkite melanjutkan. Ini bisa menjadi permulaan dari berakhirnya krisis yang mengerikan ini." Reaksi saya mengherankan saya. Bukannya saya meneriakkan teriak kemenangan, melainkan air mata mengalir keluar dari mata saya dan saya meletakkan kembali sendok yang penuh dengan kentang ke piring saya. Keluarga saya tidak tahu apa yang saya lakukan. Yesus, saya berkata dalam hati, saya tidak minta hanya tiga anak, saya minta agar mereka semua dibebaskan. Dan itu adalah doa yang lahir dari Roh-Mu.
Pada saat itu suatu ledakan keberanian baru timbul dalam diri saya dan saya memukulkan tinju saya dengan keras ke atas meja, sambil menyatakan di depan keluarga saya yang terkejut, "Dan saya menuntut mukjizat itu terjadi sekarang juga!" Apa yang kemudian terjadi akan membuat saya tercengang sampai nanti pada hari saya mati. Pada saat yang sama ketika saya memukul meja acara siaran televisi disela dengan suatu siaran berita. Walter Cronkite diganti dengan seorang penyiar dari stasiun CBS lokal yang tergabung: "Kami menyela siaran ini untuk membawakan berita yang terbaru mengenai krisis penyanderaan di negeri Belanda. Berita yang disampaikan oleh bapak Cronkite adalah rekaman yang telah dibuat terlebih dahulu untuk ditayangkan di Pantai Barat dan tidak lengkap. Seluruh siswa yang berjumlah 153 anak telah dibebaskan pagi ini."
Saat itu merupakan waktu kemenangan yang tidak akan pernah bisa saya lupakan. Tentu saja saya bukanlah satu-satunya orang percaya yang berdoa, tetapi saya tahu bahwa doa-doa saya telah membuat suatu perubahan. Yang paling mengesankan bagi saya adalah sarana yang Tuhan pakai -- yaitu kuasa untuk menjadi sama dengan orang lain. Jalan menuju doa syafaat dimulai dengan suatu kemauan untuk menjadi sama dengan sakit hati dan kecemasan orang lain. Kita harus ingat bahwa Yesus datang dari kemuliaan keindahan kekal untuk "berdiam di antara" umat manusia (atau "memasang kemah-Nya", seperti yang diartikan dalam kata Yunani) sehingga Ia dapat membayar harga dari keterlibatannya (Yohanes 1:14).
Doa syafaat adalah berbagi. Dalam mengutus murid-murid-Nya, Kristus memberikan serangkaian perintah yang menerangkan dengan singkat dasar dari pelayanan mereka. Sebuah tugas sederhana dari keseluruhan daftar itu berisi, "Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma." (Matius 10:8b). Sayang sekali, banyak orang percaya masih harus belajar rahasia memberi dengan rela. Mereka memberi, tetapi tidak dengan kemurahan hati yang tidak terbatas. Kita melihat bahwa perintah Kristus kepada murid-murid-Nya melebihi dari sekadar memberi. Ia berkata, "berikanlah dengan cuma-cuma" Inti dari doa syafaat yang berarti adalah kemauan untuk memberi. Dan seringkali kemauan mengalir bukan dari kemakmuran, tetapi dari keadaan yang miskin. Dalam menggambarkan gereja-gereja di Makedonia, Paulus berkata, "Walaupun mereka telah mengalami banyak kesusahan dan kesulitan, keadaan mereka yang sangat miskin telah bercampur dengan sukacita yang mengagumkan, dan hasilnya ialah melimpahnya pemberian mereka kepada orang lain." (2 Korintus 8:2, FAYH)
Mengenai gereja ini Paulus menambahkan: "Mereka memberikan bukan hanya apa yang dapat mereka berikan, melainkan lebih daripada itu. Saya dapat memberi kesaksian bahwa mereka melakukannya dengan rela hati, bukan karena paksaan dari pihak saya. .... Dan mereka memberi dengan cara yang sama sekali tidak pernah kami harapkan...." (8:3,5) Pada masa-masa permulaan dari pelayanan sekolah doa kami, suatu hari kami membutuhkan dana sebesar AS$ 5.000 untuk membayar tagihan yang harus dibayar pada hari itu. Hati saya serasa jatuh ketika saya pergi ke kantor pos dan hanya mendapatkan seberkas surat-surat dari para pendukung kami. Setelah membuka surat yang pertama sepertinya tidak menolong saya keluar dari kesulitan saya. Isinya hanya 71 sen.
Tetapi kemudian saya membaca kesaksian yang disertakan dengan pemberian tersebut yang ditulis oleh seorang ibu atas nama putrinya yang berumur enam tahun. Selama beberapa tahun ibu ini mendukung pelayanan kami dengan mengirimkan persembahan yang ia sisihkan dari uang belanjanya setiap bulan. Bulan sebelumnya ia telah mengirim $20, yang telah kami beri tanda terima dengan mengirim kartu ucapan terima kasih dan sebuah permohonan doa mengenai uang gaji kami. Dan ia mendoakannya. Doanya didengar oleh putrinya yang berumur enam tahun. Surat ibunya menceritakan kepada saya apa yang terjadi kemudian. "Malam ini saya kembali ke dalam kamar putri kami, Elisa, yang berumur enam tahun. Elisa mengasihi Yesus dengan sungguh-sungguh. Ia mengundang Yesus masuk ke dalam hatinya ketika ia berumur empat tahun. Ketika saya membereskan pakaiannya, saya terkejut mendengar suaranya. "Mami," Elisa berkata, "Tuhan baru saja mengatakan kepada saya untuk memberikan semua tabungan saya kepada pelayanan Dick Eastman, orang yang ibu doakan hari ini." Menurut ibu Elisa, anak yang berumur enam tahun itu matanya berair ketika ia mengatakan itu, sebagian penyebabnya adalah karena uang tabungannya yang berjumlah 71 sen itu telah ditabung dengan susah payah untuk membeli sebuah mainan yang sangat diinginkan oleh Elisa.
"Sangat sulit sekali bagi Elisa untuk memberikan semua tabungannya", ibu dari anak yang berumur enam tahun itu menulis, "karena dia ingin sekali mendapatkan mainan tersebut. Tetapi ia mengatakan kepada saya bahwa ia ingin lebih menaati Tuhan. Jadi, Saudara Dick, terlampir adalah sebuah persembahan sebesar 71 sen. Ini adalah lebih dari apa yang pernah saya kirim, karena walaupun setiap persembahan yang saya berikan adalah suatu pengorbanan, tetapi saya tidak pernah memberikan semua yang saya miliki " Sepertinya ada roh kemurahan yang dilepaskan di antara para pendukung kami. Ketika sisa dari berkas surat-surat yang tidak seberapa itu dibuka pagi itu, ternyata kami telah mengumpulkan $8.500 sebagai persembahan dan itu semua dimulai dengan pemberian Elisa sebesar 71 sen.
Doa syafaat adalah memerintah. Doa syafaat adalah memerintah dengan otoritas. Kepada nabi Yeremia, yang mungkin dapat digambarkan dengan lebih tepat sebagai "pendoa syafaat profetik", Tuhan berkata: "Ketahuilah, pada hari ini Aku mengangkat engkau atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam." (Yeremia 1:10) Yeremia bukan seorang raja atau pemimpin politik. Namun ia diangkat untuk memerintah atas "bangsa-bangsa" maupun "kerajaan-kerajaan". Penting sekali untuk diketahui bahwa ada dua alam otoritas -- bangsa-bangsa dan kerajaan-kerajaan. Kerajaan-kerajaan di sini berbicara tentang pemerintahan rohani atas suatu daerah yang tidak kelihatan, sedangkan bangsa-bangsa berbicara tentang kepemimpinan secara lahiriah atas suatu daerah yang nyata. Garis besar peran Yeremia sebagai seorang pendoa syafaat telah dinyatakan dengan jelas.
Panggilannya dimulai dengan tugas untuk "mencabut". Untuk menjadi seorang pendoa syafaat yang efektif berarti harus pergi ke sumber masalah tersebut yaitu akarnya. Akar adalah sumber daya yang tersembunyi dari sebuah tumbuhan. Ketika berurusan dengan kerusakan moral, maka akar menunjuk kepada kekuatan jahat yang tidak kelihatan yang menyebabkan kerusakan. Jadi Yeremia ditugaskan untuk menyingkirkan "akar-akar kerusakan" yang mencemarkan bangsa mereka melalui doa syafaat. "Mencabut" dalam doa berarti menembus dalam sekali ke dalam suatu keadaan rohani sehingga kita dapat langsung berurusan dengan sumber utama dari keadaan tersebut. Di samping itu Yeremia harus "merobohkan" rintangan-rintangan yang telah dibangun untuk menghalangi pemberian yang terbaik dari Tuhan kepada umat-Nya.
Merobohkan artinya memindahkan dari suatu kedudukan yang tetap. "Merobohkan" sesuatu menunjukkan bahwa kita memindahkan sesuatu yang telah diletakkan di tempat yang tinggi. Untuk masa sekarang hal tersebut dapat menunjuk kepada seorang diktator yang telah diangkat untuk memegang kekuasaan dan bercokol dalam kedudukannya yang tinggi itu. Kemudian Yeremia diperintahkan untuk "membinasakan" rintangan-rintangan ini. Menghancurkan artinya "menaklukkan atau mengalahkan seseorang atau sesuatu sama sekali". Masih ada lagi. Yeremia diperintahkan untuk "meruntuhkan" apa yang menjadi takhta Setan. Meruntuhkan bahkan memunyai arti lebih keras dari merobohkan. Meruntuhkan artinya "membuang atau memindahkan sesuatu dengan cepat dan dengan tenaga yang besar".Pada perjalanan saya yang pertama ke Tiongkok di tahun 1978, saya sering melihat meja-meja yang dipenuhi dengan tumpukan tinggi Buku Kecil Merah dari Mao Zedong yang merupakan kumpulan dari ungkapan-ungkapan politik yang berbau atheis. Revolusi Kebudayaan pada tahun 1960-an sebagian besar berasal dari sebuah kesetiaan yang ketat pada ajaran yang terdapat dalam Buku Kecil Merah ini.
Saya memutuskan untuk membawa pulang sebuah buku untuk dipakai pada waktu doa syafaat saya. Saya taruh buku kecil itu di kapel doa saya di halaman belakang rumah dan bilamana saya mulai dengan doa syafaat saya, saya diingatkan untuk berdoa bagi pelepasan rohani negara Tiongkok. Hari demi hari selama lebih dari dua tahun saya memegang Buku Kecil Merah bersampulkan vinil di tangan saya, dan memerintahkan agar disingkirkan dari masyarakat Tiongkok. Doa-doa saya hampir selalu keras. Saya berteriak melawan pengaruh dari buku ini, karena sering teringat bagaimana saya melihat anak-anak muda membacanya di tanah lapang di Tiongkok seakan-akan mereka sedang mempelajari Alkitab dalam kelompok kecil. Bayangkan betapa herannya saya ketika kemudian saya mengunjungi Hong Kong dan melihat sebuah berita halaman depan dengan gambar Mao Zedong yang ditumbangkan -- diruntuhkan -- di seluruh negara Tiongkok. Saya baca setiap kata dari berita dalam bahasa Inggris itu. Satu kalimat menimbulkan suatu kegembiraan yang istimewa: "Dan mengenai nasib Buku Kecil Merah dari Mao Zedong, sepertinya hilang dari permukaan bumi."
Tetapi panggilan Yeremia belum lengkap. Masih ada dua tanggung jawab penting yang tertinggal. Apa yang dimulai dalam keadaan negatif sekarang menjadi positif. Sekarang Yeremia diperintahkan untuk "membangun" dan "menanam". Membangun artinya "memberi bentuk pada sesuatu sesuai dengan sebuah rencana atau proses tertentu", atau "membangun dan menguatkan". Pendoa syafaat tidak hanya harus menyingkirkan rintangan-rintangan melalui doa-doa mereka, tetapi mereka harus menolong menempatkan sesuatu pada tempat yang telah disingkirkan sebagai gantinya. Jadi, pendoa syafaat tidak hanya berdoa agar seorang pemimpin yang jahat disingkirkan, tetapi ia juga harus berdoa supaya pemimpin yang benar akan dibangkitkan. Demikian pula menanam adalah unsur yang penting bagi doa syafaat yang efektif. Menanam artinya "menaruh sesuatu pada suatu tempat di mana ia mempunyai kemampuan untuk tumbuh". Doa syafaat di sini melebihi dari doa untuk suatu kebutuhan. Doa syafaat yang "menanam" melibatkan tindakan, dengan menerapkan jawabannya kepada doa-doa kita sendiri.
Doa syafaat adalah menangis. Doa syafaat adalah hancur hati di hadapan Tuhan. Pemazmur berbicara tentang aspek kepekaan dalam doa syafaat ketika ia berkata: "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya." (Mazmur 126:5-6)
Air mata yang membasahi kita adalah sangat penting sekali dalam doa syafaat yang berkemenangan. Kita melihat bahwa air mata sering sekali disebut dalam Alkitab. Misalnya ada air mata karena sedih dan penderitaan (2 Raja-Raja 20:5) dan air mata karena sukacita dan belas kasihan (Kejadian 33:4; Yohanes 11:35). Ada air mata karena putus asa (Ester 4:1,3) maupun air mata karena kesakitan waktu melahirkan (Yesaya 42:14) dan pertobatan (Yoel 2:12-13). Dalam Alkitab, air mata digambarkan sebagai sesuatu yang disimpan Tuhan dalam botol (Mazmur 56:8, FAYH; TL "kirbat"), yang menunjukkan bahwa Tuhan menjunjung tinggi orang yang lembut hatinya.
Air mata adalah air bagi benih rohani yang kita tanam, dan dengan demikian meyakinkan kita akan suatu tuaian yang berlimpah sebagai hasil dari kehancuran hati kita. Lebih dari sekadar suatu lampiasan emosi pada doa-doa kita, maka air mata menjadi doa-doa itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Charles Spurgeon, "Air mata adalah doa yang cair!"
Doa syafaat adalah mati. Mati bagi diri sendiri. Kepada orang-orang percaya di Roma, Paulus menulis, "Demikian juga dengan kamu; kamu sendiri harus melihat bahwa kamu sudah mati terhadap dosa dan melihat dirimu sendiri sudah hidup untuk Allah melalui Kristus Yesus." (Roma 6:11, FAYH) Kata yang diterjemahkan "melihat" di sini berarti "mendekati sesuatu seolah-olah". Sebagai pendoa syafaat kita harus menghadapi setiap keadaan dan kenyataan seolah-olah "mati" terhadap semua prasangka atau pertimbangan duniawi. Mati artinya "tanpa perasaan".
Perhatikan juga pentingnya kata "Demikian juga" dalam ayat tersebut. Sesungguhnya artinya "pada kenyataannya", "sebenarnya", atau "sudah jelas". Dengan kata lain, kita harus berlaku seolah-olah kita sudah sungguh-sungguh mati. Doa syafaat yang efektif menuntut kita mati bagi diri sendiri. Dan di dalam istilah rohani itu adalah mati yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya -- "sudah jelas!"
Diambil dan disunting dari:
Judul buku | : | Kasih yang Bertumpu pada Lutut |
Judul buku asli | : | Love on Its Knees |
Penulis | : | Dick Eastman |
Penerjemah | : | Liana Kosasih |
Penerbit | : | Nafiri Gabriel, Jakarta 2000 |
Halaman | : | 34 -- 43 |