Kegairahan bagi Jiwa yang Terhilang

Tiga pertimbangan sebelumnya menunjukkan mekanisme-mekanisme bagaimana mendoakan mereka yang terhilang di kota kita. Akan tetapi, supaya mampu melaksanakannya dengan efektif dan gigih, kita harus mempunyai kegairahan bagi mereka yang terhilang. Saya tidak sedang membicarakan ketertarikan pada keselamatan para pendosa. Tidak! Saya sedang membicarakan kegairahan yang amat membakar untuk orang-orang yang terhilang. Saya tidak sedang membahas untuk mengusulkan program untuk menginjili masyarakat. Tidak! Saya sedang membicarakan suatu gaya hidup saat kita mempersembahkan setiap ons energi untuk memenangkan yang terhilang. Jika Anda kekurangan kegairahan seperti ini, jangan patah semangat.

Ini bukan sesuatu yang menyertai kita waktu kita lahir, bukan juga sesuatu yang bisa dipelajari. Tidak bisa dibeli atau diajarkan. Harus ditanamkan oleh Roh Kudus. Untuk menerimanya, kita perlu menghadap Allah dalam pertobatan penuh untuk memohon suatu penanaman detak jantung-Nya bagi yang terhilang.

Dalam 2 Petrus 3:9, kita membaca bahwa Allah sabar terhadap kita (orang-orang percaya), tidak menghendaki siapa pun (orang-orang yang belum percaya) binasa, tetapi supaya semuanya bertobat. Pasal ini, bersamaan dengan 1 Timotius 2:4-6, nyata dalam istilah-istilah yang tegas bahwa kehendak Allah adalah supaya semua orang diselamatkan. Tentu saja, ini tidak perlu berarti bahwa semua orang akan diselamatkan. Isu tersebut sangat rumit, tetapi untuk tujuan mengetahui bagaimana berdoa sesuai dengan kehendak Allah, semestinya sudah cukup bahwa kehendak Allah diketahui: Ia berharap semua orang diselamatkan dan tak seorang pun binasa. Inilah kehendak-Nya, dan kita harus membingkai doa-doa kita sesuai dengannya.

Pada hari saya menjadi seorang Kristen, saya diliputi sepenuhnya oleh kasih Allah yang meluap-luap. Saya tidak dapat menangkap sepenuhnya fakta bahwa semua dosa saya telah diampuni sekali dan untuk selama-lamanya. Sukacita Tuhan begitu nyata sehingga pada malam saya bertemu dengan Yesus, saya duduk di tempat tidur saya dan mencoba untuk tidak tertidur karena takut kalau-kalau pada pagi hari sukacita itu akan lenyap. Namun, keesokan harinya sukacita itu masih ada di sana, dan terus bertumbuh sementara hari-hari berlalu. Saya bercerita tentang Kristus kepada setiap orang dalam keluarga saya dan setiap teman-teman saya. Di sekolah, saya berdiri di muka kelas, lalu bercerita tentang Yesus kepada mereka. Ketika guru-guru menghukum saya karena berbuat demikian, saya menganggapnya sebuah berkat. Mereka perlu mendengar Injil, dan saya berada pada posisi untuk menceritakannya. Jadi, saya berbagi dengan mereka, "baik atau tidak baik waktunya" (2 Timotius 4:2).

Saya sangat ketakutan kalau salah seorang teman saya, anggota-anggota keluarga atau teman-teman sekelas akan mati dan masuk neraka! Saya tahu Allah menghendaki mereka semua diselamatkan, dan saya ingin menyenangkan Dia yang sudah menyelamatkan saya. Ketika salah seorang teman saya jatuh sakit yang fatal, saya maju terus ke dalam kamar tempat ia dirawat, dan saya membimbing dia pada Kristus hanya beberapa jam sebelum ia meninggal.

Sewaktu saya mau melihat prosesi pemakaman berlangsung, hati saya sakit terhadap kemungkinan bahwa orang asing yang tubuhnya dalam perjalanan menuju pekuburan mungkin sudah menderita di neraka. Saya tidak pernah ragu sedetik pun kalau Allah mengharapkan semua orang diselamatkan supaya tak seorang pun binasa.

Sayangnya, setelah waktu saya menjadi "berpendidikan teologi", saya diperkenalkan kepada pemikiran spekulatif yang memberikan "alasan-alasan" bagi saya untuk tidak membagikan Injil kepada yang terhilang dan tetap masih merasa nyaman. Saya sangat fasih menjelaskan mengapa keselamatan bagi yang terhilang bukanlah urusan saya. Bagaimanapun, Allah sudah menakdirkan siapa saja orang yang akhirnya akan diselamatkan, dan konsekuensinya, Ia sudah menakdirkan yang lain akan ke neraka. Dalam susunan teologi saya yang membingungkan, saya bahkan menemukan suatu perubahan yang menuntun saya ke sebuah tempat nyaman untuk merenungkan tentang ketidakbenaran mendoakan bagi keselamatan mereka yang terhilang. Saya pikir keselamatan adalah satu isu yang menjadi milik Allah secara eksklusif. Saya berbicara pada diri sendiri, "Jangan sombong sampai berani-berani memberi tahu Allah siapa yang seharusnya Ia selamatkan." Segera sesudahnya, doa berjaga-jaga saya secara teratur digantikan dengan "aktivitas-aktivitas yang lebih produktif".

Akhirnya, harinya tiba ketika saya sanggup pergi ke pemakaman atau mengamati prosesi pemakaman dalam perjalanannya menuju pekuburan tanpa merasakan kepedihan dalam jiwa saya. Ketika saya akan melewati pasal-pasal alkitabiah seperti 2 Petrus 3:9 atau 1 Timotius 2:3-4 yang langsung menantang kepuasan diri saya sendiri dengan menyatakan bahwa Allah "menghendaki supaya semua orang diselamatkan," dengan cepat saya melaluinya. Saya akan berkata pada diri sendiri, "Karena sekarang saya melihat samar-samar dalam cermin ... sekarang saya tahu hanya sebagian, tetapi nanti saya akan mengerti sepenuhnya ... Jangan biarkan ayat-ayat itu mengganggumu."

Saya telah membangun tembok-tembok intelektual semu yang membutakan saya terhadap kebenaran alkitabiah akan kasih Allah dan kegairahan bagi yang terhilang. Saya sudah menyekat tembok-tembok itu supaya tidak mendengar tangisan mereka yang binasa. Semua lukisan yang saya gantungkan di tembok-tembok itu melukiskan keindahan keselamatan saya. Tak satu pun menunjukkan tragedi sebenarnya tentang pemisahan dan penyiksaan kekal para pendosa.

Kadang-kadang, saya akan bersukaria dalam susunan intelektual keyakinan-keyakinan saya yang egoistis. Namun, hati saya kering. Di mana mata air sukacita biasanya berada, sekarang tanah kering dengan cepat berubah menjadi debu. Jiwa saya, yang dulunya begitu subur dan hidup, menjadi gersang. Jauh dalam lubuk hati, kesengsaraan saya mulai melingkar naik ke atas sampai saya tidak mampu mengabaikannya lagi. Saya mulai mengenang kesegaran kasih mula-mula saya yang sekarang lenyap ketika hanya ada satu hal yang pasti: hadirat Allah. Segala sesuatu yang lain adalah tanda tanya, tetapi saya tidak peduli. Allah bersama saya dan hal itu sudah cukup. Ia adalah segalanya yang saya butuhkan. Betapa kontrasnya dengan keadaan di tempat saya sendiri sekarang. Sekarang saya mempunyai jawaban atas setiap pertanyaan, atau begitulah saya berpikir, tetapi hadirat Allah tidak bisa ditemukan di mana pun.

Pada waktu ini dalam kehidupan saya, 2 Petrus 3:9 menghantam saya ibarat sebatang kayu berukuran dua kali empat inci tepat di antara kedua mata saya. Ekspresi-ekspresi "tidak menghendaki seorang pun binasa ... supaya semuanya bertobat" menampar saya berulang kali sampai saya jatuh berlutut dan berseru kepada Allah agar dibaptis dalam belas kasihan bagi mereka yang terhilang. Sewaktu saya bertobat dari kepuasan rohani diri saya sendiri, kasih karunia Allah membasuh kelesuan. Saat saya menyanyi, "Bawa aku datang, ke sungai-Mu, O Tuhan, bawa aku minum, dari sungai-Mu, O Tuhan, bawa aku hidup, oleh sungai-Mu, O Tuhan," kasih Allah membanjiri jiwa saya dan memulihkan sukacita keselamatan saya.

Diambil dari:

Judul asli buku : That None Should Parish
Judul buku terjemahan : Supaya Tak Seorang pun Binasa
Penulis : Ed Silvoso
Penerjemah : Ester Anggawijaya
Penerbit : Harvest Publication House, Jakarta 2000
Halaman : 103 -- 107

Komentar