Kunjungi Situs Natal
https://natal.sabda.org
Letak desa Bethlehem tidak jauh dari kota Yerusalem. Sejak dahulu, desa itu menempati kedudukan yang istimewa dalam sejarah. nama Daud, raja terbesar pada zaman Alkitab, berasal dari Bethlehem. Beberapa abad setelah masa pemerintahan Raja Daud, Nabi Mikha menyampaikan firman Tuhan: "Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala" (Mikha 5:1).
Para ahli Taurat masih ingat akan nubuat itu dari masa ke masa. Ketika orang Majus datang menghadap Raja Herodes di Yerusalem, ahli-ahli Taurat menjelaskan bahwa desa Bethlehem adalah satu-satunya tempat yang paling tepat untuk mencari Raja yang baru lahir itu. Benar, Bethlehem adalah tempat kelahiran Tuhan Yesus. Di antara lagu-lagu Natal umat Kristen, ada satu lagu pilihan yang secara khusus mengingatkan kita akan desa Bethlehem. Hal ini wajar karena lagu Natal itu diciptakan berdasarkan pengalaman pengarangnya sendiri ketika ia sedang berada di desa yang bersejarah itu.
Anak yang Gembira
Phillips Brooks lahir di kota Boston, negara bagian Massachusetts, pada tahun 1835. Sejak kanak-kanak, ia memunyai sifat yang ramah dan gembira sehingga banyak orang menyukainya. Ayah ibunya tahu bila Phillips sudah bangun di pagi hari karena dari kamar Phillips mereka dapat mendengar ia menyanyi. Ayah dan ibu Brooks memberi dorongan agar anak-anak mereka menghafalkan nyanyian-nyanyian rohani. Pada hari Minggu sore, biasanya mereka mengulangi lagu-lagu yang sudah mereka hafalkan. Ketika Phillips tamat SMA, ia sudah dapat menyanyikan dua ratus nyanyian rohani di luar kepala.
Pendeta yang Setia
Phillips Brooks kuliah di universitas, kemudian di Sekolah Tinggi Teologi. Ia menerima panggilan untuk menjadi hamba Tuhan. Setelah ditahbiskan pada tahun 1859, ia mulai melayani sebagai gembala sidang di kota besar Philadelphia. Setelah 10 tahun di Philadelphia, ia pindah ke sebuah gereja besar di Boston, kampung halamannya. Selama 22 tahun, ia berkhotbah setiap minggu. Jemaat membludak sampai di luar gedung. Karena itu perlu dibangun tempat kebaktian yang baru.
Selama tahun-tahun itu, Pendeta Brooks beberapa kali ditawari kedudukan yang terhormat sebagai mahaguru dan pendeta mahasiswa di sebuah universitas yang besar. Namun, ia menolak tawaran-tawaran itu. Ia terus melayani sebagai gembala sidang. Dua tahun sebelum akhir hidupnya, Phillips Brooks menjadi uskup dari aliran gerejanya. Selama memegang jabatan itu, ia membina serta menggembalakan jemaat-jemaat di seluruh negara bagian Massachusetts.
Pengkhotbah yang Luar Biasa
Phillips Brooks adalah seorang pengkhotbah yang lain daripada yang lain. Perawakannya saja sudah cukup mengesankan: tingginya hampir 2 meter, wajahnya ganteng, matanya bercahaya. Bila sedang berkhotbah, ia berbicara dengan kecepatan rata-rata 250 kata per menit -- terlalu cepat untuk dapat dicatat, sekalipun oleh seorang sekretaris yang pandai menulis steno!
Pada masa hidup Phillips Brooks, ada banyak orang Kristen Amerika yang ragu-ragu terhadap Alkitab. Tetapi, Pdt. Brooks dengan gamblang mengkhotbahkan Injil tentang kasih Allah dalam Yesus Kristus. Tidak mengherankan bila orang banyak berkerumun untuk mendengarkan khotbahnya! Hingga kini, di kota Boston masih ada patung yang melambangkan keberhasilan Phillips Brooks sebagai pengkhotbah. Di belakang patung orang yang tinggi besar itu, berdiri patung Kristus, dengan satu tangan memegang salib, dan yang lainnya memegang bahu Pdt. Brooks.
Pencinta Anak-Anak
Phillips Brooks melajang seumur hidupnya. Namun, ia mencintai anak-anak. Ia mendorong para anggota gereja agar mereka mendukung kegiatan sekolah minggu dan koor anak-anak. Di ruang kerjanya, di antara buku-buku kesarjanaan dan kumpulan khotbah, selalu ada beberapa boneka dan mainan. Benda-benda itu ditaruh di situ untuk putra-putri anggota gereja bila mereka mampir untuk menemuinya.
Perjalanan ke Bethlehem
Pada tahun 1865, Phillips Brooks meninggalkan tanah airnya selama beberapa bulan. Para anggota gerejanya membiayai perjalanannya ke beberapa negara. Salah satunya ialah negara tempat Tuhan Yesus lahir. Selama bepergian, Pendeta Brooks tidak pernah melupakan anak-anak. Ia menulis surat kepada keponakan-keponakannya, dan dengan sangat menarik menceritakan pengalamannya. Untuk lebih jelas lagi, berikut ini cuplikan dari surat Phillips Brooks yang mengisahkan pengalamannya pada malam Natal tahun 1865:
"Sesudah makan siang, kami menunggang kuda dari Yerusalem ke Bethlehem. Perjalanan itu memakan waktu kira-kira 2 jam. Sebelum malam tiba, kami kembali melewati padang rumput. Kata orang, di tempat itulah para gembala itu berada pada zaman dahulu. Ada sebidang tanah yang dipagari; di dalamnya ada sebuah gua. Ketika kami lewat, ada gembala-gembala yang sedang menjaga kawanan domba, ada juga yang sedang menggiring ternaknya ke dalam kandang."
Pada malam hari itu juga Pdt. Brooks kembali lagi ke desa Bethlehem. Ada sebuah gereja kuno yang konon dibangun tepat di atas tempat kelahiran Yesus. Phillips Brooks menghadiri kebaktian Natal di gereja yang bersejarah itu. Kebaktian tersebut berlangsung dari pukul 10:00 malam sampai pukul 3:00 pagi!
Pada Waktu Latihan Koor
Tiga tahun berlalu. Kali ini perayaan Natal juga sudah dekat. Phillips Brooks sibuk di ruang kerja di gerejanya. Di ruang kebaktian, koor anak-anak sedang berlatih untuk acara hari Minggu menjelang tanggal 25 Desember. Pendeta Brooks menyukai suasana hari Natal. Ia pernah menulis dua syair berkenaan dengan saat-saat yang penuh sukacita itu. Sejenak ia duduk mendengarkan suara anak-anak. Ia teringat akan kunjungannya ke Bethlehem 3 tahun yang lalu. Tiba-tiba ia menyisihkan Alkitab dan catatan khotbahnya. Di atas sehelai kertas kosong, ia mulai menulis -- cepat sekali. Penanya terus menari-nari di permukaan kertas sampai terbentuk sebuah syair Natal yang indah. Lalu ia segera berdiri dan berjalan menuju pintu ruang kebaktian.
Orang yang sedang memimpin paduan suara anak-anak di situ adalah Lewis H. Redner. Walau ia seorang awam, dalam banyak hal, kisah hidupnya mirip dengan riwayat Pendeta Brooks. Ia lahir di Philadelphia pada tahun 1830, dan menjadi seorang makelar tanah/bangunan yang sangat sukses. Sama seperti Phillips Brooks, Lewis Redner juga melajang. Ia tinggal dengan keluarga kakak perempuannya; ia juga mencintai anak-anak. Selama 19 tahun, ia menjadi kepala sekolah minggu di gerejanya. Jumlah murid yang hadir meningkat dari 36 orang menjadi 1.000 orang lebih.
Bapak Redner juga mahir di bidang musik. Ia melayani sebagai pemimpin paduan suara dan pemain orgel di empat gereja di kota Philadelphia. Kepada orang awam yang berbakat itulah Phillips Brooks memberikan kertas yang berisi syair itu. "Ini lagu Natal yang sederhana," kata pendeta yang berperawakan tinggi itu. "Apakah Pak Redner dapat mengarang musiknya?" Lewis Redner mengangguk, lalu memasukkan kertas itu ke dalam kantongnya. Karena pada hari-hari menjelang Natal itu ia teramat sibuk, kertas itu tetap berada di kantongnya dan nyaris terlupakan.
Lagu dari Surga
Akhirnya malam Minggu tiba. Hari berikutnya koor anak-anak akan mempersembahkan acara musik di gereja. Dalam keadaan sangat letih, Lewis Redner pergi tidur. Di tengah malam ia terbangun. Seolah-olah ia mendengar melodi sebuah lagu yang baru. Nada itu menggema dalam hatinya ... bagai melodi yang turun langsung dari surga! Ia melompat dari tempat tidurnya dan mencatat not-not yang sangat indah itu sebelum pudar dari ingatannya.
Pagi-pagi benar Lewis Redner bangun. Ia melengkapi melodi baru itu dengan syair karangan Phillips Brooks -- lengkap dengan empat suara. Setelah selesai; dibawanya ke gereja. Dalam waktu singkat, ia berhasil mengajarkan lagu itu kepada koor anak-anak. Maka pada hari Minggu pagi itu untuk pertama kalinya terdengar alunan "Lagu Natal Kenang-Kenangan Bethlehem", yang kini menjadi Lagu pilihan di seluruh dunia. Lagu baru itu dicetak dalam bentuk lembaran, kemudian menjadi populer di kota Philadelphia. Entah apa sebabnya, tidak ada yang memperkenalkan lagu itu di luar kota asalnya. Bahkan ketika dimuat dalam sebuah buku nyanyian rohani pada tahun 1874, lagu Natal itu tidak banyak menarik perhatian orang.
Baru beberapa tahun kemudian, sebelum Pdt. Brooks meninggal pada tahun 1893, lagu Natal karangannya itu akhirnya menjadi terkenal. Dan sebelum Bapak Redner meninggal pada tahun 1908, lagu itu sudah mulai diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Tidak lama setelah Phillips Brooks meninggal, seorang gadis berumur 5 tahun bertanya kepada ibunya, mengapa ia tidak lagi melihat temannya yang tinggi besar itu. Dengan lembut ibunya menjelaskan bahwa Pdt. Brooks sudah meninggal. Anak perempuan itu memandang ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. "Oh, Mama," katanya, "alangkah senangnya para malaikat di surga!" Memang kepulangan seorang hamba Tuhan yang setia menimbulkan sukacita di surga. Tetapi ada juga sukacita di dunia selama suara anak-anak di seluruh dunia menyanyikan "Lagu Natal Kenang-Kenangan Bethlehem".
Diambil dan disunting seperlunya dari: | ||
Judul buku | : | Kisah Nyata di Balik Lagu Pilihan |
Judul artikel | : | Lagu Natal Kenang-Kenangan Betlehem |
Penyusun | : | Andreas Sudarsono dan Doreen Widjana |
Penerbit | : | Lembaga Literatur Baptis, Bandung 2007 |
Halaman | : | 182 -- 188 |