Merayakan 30 tahun
melayani bersama
Jika Anda ingin menjangkau kota Anda bagi Kristus, Anda harus menangkap detak jantung Allah untuk jiwa yang terhilang. Cara terbaik yang saya ketahui untuk mengilustrasikan hal ini adalah dengan berbagi kepada Anda salah satu pengalaman masa kecil saya.
Ketika saya dibesarkan di Argentina, waktu "siesta" adalah bersifat perintah. Setiap orang harus tidur siang. Bagi kami, anak-anak, ini hukuman yang kejam dan tidak biasa. Waktu tidur siang adalah waktu ketika seluruh kota menjadi milik kami. Setiap orang dewasa terbaring tidur, dan kami -- anak-anak -- memiliki kebebasan tempat tanpa terlarang.
Teman-teman bersama saya berhasil berkomplot untuk menyelinap dari kamar tidur kami segera setelah kami mendengar sinyal "semua sudah aman" ditandai oleh irama dengkuran orang-orang dewasa. Namun, suatu hari ayah saya, seorang pendisiplin yang keras, akhirnya memergoki saya. Dalam istilah-istilah yang pasti ia memerintahkan, "Mulai sekarang engkau harus tidur siang di kamarku, di ranjangku, di sebelahku. Mengerti?"
"Ya, Ayah!" jawab saya.
Sejak saat itu, saya menderita siksaan dua jam setiap hari; itulah lamanya waktu tidur siang berlangsung. Untuk menghabiskan waktu, saya menciptakan permainan-permainan mental. Saya membayangkan retakan-retakan di langit-langit adalah sungai-sungai, bercak-bercak adalah kota-kota, papan-papan penghias adalah gunung-gunung. Jadi, saya membangun peta dunia imajiner saya. Ketika saya melihat dua ekor lalat, saya menamakannya Jose dan Maria. Saya membayangkan mereka pergi berkencan. Ketika lalat yang ketiga dan lebih kecil muncul, saya berujar, "Mereka menikah dan punya bayi!" Apa pun saya lakukan untuk menghabiskan waktu!
Setelah beberapa saat, napas ayah saya akan berirama yang dengan jelas mensinyalkan bahwa ia sudah berada di negeri tidur. Bagaimanapun, pada waktu saya melihat dia terbaring horisontal dengan mata tertutup rapat, saya terdorong perlahan-lahan dan hati-hati merangkak ke arahnya. Ketika saya berada di sebelahnya, saya akan menaruh kepala saya di dadanya dan mendengarkan detak jantungnya. Apa yang tidak saya ketahui kala itu adalah bahwa karena ayah dan ibu saya kehilangan salah seorang orangtua mereka pada masa kanak-kanak, saya terkendalikan oleh rasa takut di bawah sadar akan kehilangan salah seorang dari mereka. Melihat ayah saya dengan mata tertutup rapat itu selalu memicu rasa takut saya. Sewaktu saya menyendengkan telinga di dadanya, detak jantungnya meyakinkan saya kembali secara emosional. Bahkan, saya meletakkan lirik-lirik untuk detak jantungnya. "Aku mengasihimu, Anakku. Aku tidak akan mati." Berulang-ulang. Oh, betapa nyaman rasanya!
Sekarang ini, saya ingin mengundang Anda menyendengkan telinga di dada Allah dan mendengarkan detak jantung-Nya. Dengarkan dengan cermat dan Anda akan mendengar dua suara: tak seorang pun ... semuanya. Tak seorang pun binasa. Semuanya harus bertobat. Teruslah mendengarkan sampai detak jantung-Nya menjadi detak jantung Anda, sampai Anda melihat semua sanak keluarga, teman-teman, tetangga-tetangga, dan rekan-rekan sekerja Anda yang belum diselamatkan ada di monitor jiwa Anda. Sewaktu nama-nama serta wajah-wajah mereka bermunculan, dengarkan Allah berkata, "Tak seorang pun binasa semuanya harus bertobat." Dengarkan cukup lama sampai benteng-benteng intelektual buatan manusia yang menyangkut alasan-alasan teologis yang melayani diri sendiri, ambruk. Terus dengarkan sampai kasih Allah bagi mereka yang terhilang membanjiri hati Anda, membangkitkan pikiran Anda, dan memperbarui sepenuhnya.
Ya, tangkap detak jantung Allah! Sekarang pindahkan lingkaran sanak keluarga, teman-teman, dan tetangga Anda. Izinkan Allah menunjukkan kota Anda pada Anda dan masing-masing penduduknya. Dengarkan detak jantung Allah untuk kota Anda: "Tak seorang pun binasa ... semuanya harus bertobat." Biarkan ritme dan melodi detak jantung-Nya menyelimuti Anda seutuhnya; membanjiri Anda seluruhnya; meluapi Anda sepenuhnya sampai Anda menemui diri Anda sendiri berenang di samudera kasih-Nya bagi mereka yang terhilang -- sampai jiwa Anda berteriak dengan segala sesuatu di dalamnya, "Tuhan, berikan aku kota ini atau aku mati!"
Diambil dari:
Judul asli buku | : | That None Should Parish |
Judul buku terjemahan | : | Supaya Tak Seorangpun Binasa |
Judul bab | : | Penginjilan Doa |
Penulis | : | Ed Silvoso |
Penerjemah | : | Ester Anggawijaya |
Penerbit | : | Harvest Publication House, Jakarta, 2000 |
Halaman | : | 107 -- 109 |