Menemukan Kedamaian dalam Doa yang Tidak Terjawab

"Hai Ayah, ini aku. Aku menelepon untuk mengetahui apakah kau tahu apa yang kaulakukan 33 tahun yang lalu hari ini."

"Tidak, kurasa tidak."

"Kamu menatapku untuk pertama kalinya."

Keheningan dipecahkan dengan suara menangis: "Kamu pikir aku akan mengingatnya, ya? Aku kira itu adalah 8 Agustus. Selamat ulang tahun, Kak" (nama panggilan lamanya untukku). Ayah tidak pernah melupakan hari ulang tahunku sebelumnya. Namun, aku tidak kesal -- aku tahu akhir-akhir ini dia tidak menjadi dirinya sendiri. Aku telah menelepon beberapa hari sebelumnya dan dia bertanya (untuk ketiga kalinya) apakah aku tahu apa jenis kelamin "bayi yang berkembang di perutku". Aku mengingatkannya bahwa itu laki-laki, dan dia sama kaget dan bersemangatnya seperti dua kali aku memberi tahu dia sebelumnya. Ada yang tidak beres.

Akan tetapi, yang tidak kuketahui adalah bahwa terakhir kali aku berbicara dengan ayahku adalah pada hari ulang tahunku yang ke-33.

Tidak Seperti Ayah Lainnya

Dua hari kemudian, pada 10 Agustus 2013, suamiku mendatangiku di ruang makan, menggandeng tanganku ke lorong, dan mengucapkan kata-kata yang tidak akan pernah aku lupakan: "Carrie, ayahmu meninggal."

Gambar:gambar

Mataku membelalak tak percaya. Jauh di lubuk hatiku aku tahu ada yang tidak beres dengannya, tapi tetap saja -- ayahku? Rasanya seperti mimpi. Anda tahu orang tua Anda suatu hari akan meninggal, tetapi sulit untuk memahami apa artinya sebelum itu terjadi. Sulit untuk memahami apa artinya setelah itu terjadi. Kehilangan orang yang Anda cintai sangat aneh.

Ayahku tidak seperti ayah yang membesarkan teman-temanku. Dia tidak seperti ayah yang dimiliki anak-anakku. Akan tetapi, dia adalah apa yang Allah berikan kepadaku -- dan untuk itu aku bersyukur.

Aku ingat meringkuk bersamanya dan tertidur di kursi malas merahnya yang sangat dia sukai. Dia melatih tim olahragaku, mengajak kami berlibur, dan memastikan kami mendapatkan hadiah yang kami inginkan saat Natal. Dia mencoba, tetapi tekadnya untuk menjadi ayah yang baik tidak bertahan lama.

Aku berusia 11 tahun ketika dia meninggalkan aku, ibuku, dan saudara laki-lakiku. Dia menjadi pria yang mencintai diri sendiri, melakukan apa yang dia suka selama sisa hidupnya. Ada tahun-tahun dia tidak berusaha menghubungiku, dia juga tidak peduli ketika aku mencoba menghubunginya. Kami bukan prioritasnya lagi. Dirinya adalah prioritasnya.

Dan, seiring waktu dia menjadi kesepian dan sengsara. Kesengsaraannya yang nyata adalah apa yang Allah gunakan untuk melembutkan hatiku terhadapnya.

Perubahan Hati

Ketika aku masih mahasiswa baru, Tuhan menginsafkanku tentang perasaanku terhadap ayahku. Anda mungkin mengira aku marah atas apa yang telah dia lakukan terhadap keluarga kami, tetapi aku tidak -- aku apatis. Aku tidak peduli lagi. Dia meninggalkan kami dan aku tidak perlu peduli padanya.

Akan tetapi, Allah mengubah hatiku melalui percakapan dengan seorang teman non-Kristen yang gaya hidupnya telah membuatnya kesepian dan sengsara. Dia merasa berada di titik kehancuran. Setelah percakapan kami, aku kembali ke kamar asrama dengan berat hati, berdoa kepada Allah untuk menyelamatkan temanku. Kemudian, aku mulai bertanya-tanya bagaimana aku bisa begitu peduli tentang keselamatan temanku, tetapi tidak peduli tentang keselamatan ayahku sendiri. Allah dengan murah hati menggunakan percakapan itu untuk meluluhkan hatiku dari ketidakpedulian yang mendalam menjadi cinta yang tak dapat dijelaskan dan tak tergoyahkan.

Ayah bagi anak yatim

Salah satu hal pertama yang aku pelajari adalah bahwa jika aku ingin mencintai ayahku, aku harus memaafkannya. Aku telah menjadi kebal terhadap sengatan dosa-dosanya terhadapku, tetapi lukanya masih ada. Hanya dengan mengingat betapa Allah telah mengampuniku, aku dapat mulai memberikan pengampunan kepada ayahku (Luk. 7:47). Yesus mengasihi musuh-musuh-Nya, dan Dia memanggil serta memampukan aku untuk melakukan hal yang sama (Luk. 6:27-33).

Tuhan juga mengajari aku bahwa untuk mengasihi ayahku, harapanku harus berubah. Mencintainya seperti orang terhilang lainnya -- tidak hanya sebagai "Ayah" -- memberiku kebebasan. Aku tidak berharap dia menjadi ayah sejati bagiku. Dia tidak akan pernah menjadi seperti itu, kecuali Allah mengubah hatinya.

Akan tetapi, aku tidak harus menunggu sampai hari itu untuk merasakan kasih seorang ayah.

Allah berjanji untuk menjadi "Ayah bagi anak-anak yatim" (Mzm. 68:5, AYT). Ayah duniawiku meninggalkan aku, tetapi Bapa surgawiku tidak akan pernah (Ul. 31:6). Dia berjanji untuk memenuhi setiap kebutuhanku (Flp. 4:19). Dia memanggilku anak perempuan-Nya.

Kabar baik Injil tidak hanya bahwa Yesus mengampuni dosaku, tetapi juga bahwa Dia membawa aku ke dalam keluarga Allah dan memberiku kekuatan untuk mengasihi ayah duniawiku -- apa pun yang terjadi.

Doa yang tidak dijawab

Allah dengan murah hati menggunakan percakapan itu untuk meluluhkan hatiku dari ketidakpedulian yang mendalam menjadi cinta yang tak dapat dijelaskan dan tak tergoyahkan



Aku berdoa untuk ayahku selama bertahun-tahun setelah Allah melembutkan hatiku terhadapnya. Aku tahu dia tersesat dan sangat membutuhkan Kristus, sama seperti aku. Aku ingin dia mengalami kebebasan dari rasa sakit dan kesepian yang bisa aku lihat dengan jelas. Aku benar-benar percaya dia akhirnya melihat kebutuhannya akan seorang Juru Selamat. Aku percaya dia akan melihat kembali kehidupannya, melihat di mana dia gagal, dan menemukan harapan di satu-satunya tempat yang dia bisa -- Yesus! Aku berdoa hampir setiap hari. Aku tidak tahu kapan itu akan terjadi, tetapi aku yakin itu akan terjadi.

Aku sering membagikan Injil kepada ayahku. Sebulan sebelum dia meninggal, aku duduk di rumahnya, air mata berlinang, saat aku membagikan pentingnya mencintai Allah, mengenal Kristus, dan mengakui kebutuhannya akan pengampunan. Dia tidak yakin. Itu menghancurkan hatiku, tetapi bukan imanku.

Itu terbukti menjadi percakapan tatap muka terakhir kami.

Aku sedih ketika Ayah meninggal, tetapi lebih dari itu, aku bingung. Mengapa Allah tidak menyelamatkannya? Apa yang dikatakan oleh doa yang tidak dijawab selama 20 tahun tentang karakter Allah?

Kedamaian yang Tak Terduga

Aku masih memiliki pertanyaan yang belum terjawab. Namun, aku juga memiliki kedamaian. Bapa surgawiku mencintai aku lebih dari yang dapat aku bayangkan, dan semua yang Dia lakukan dilakukan dalam kesetiaan (Mzm. 33:4).

Pada akhirnya, Ayah tahu aku mencintainya, dan aku tahu dia mencintaiku semampunya. Dia juga tahu Injil. Dia tahu ke mana harus mencari belas kasihan jika dia menginginkannya. Aku tidak tahu seperti apa hari-hari terakhir hidupnya. Aku tidak ada di sana saat dia meninggal. Akan tetapi, aku tahu bahwa selama seseorang bernapas, dia dapat berseru kepada Allah -- yang senang menyelamatkan mereka yang mencari Dia -- bahkan jika itu dengan napas terakhirnya (Luk. 23:42-43).

Meskipun aku tidak tahu apakah aku akan bertemu ayahku lagi, aku tahu aku dapat memercayai Bapa surgawiku. Aku tenang dan berharap pada kenyataan bahwa ketika aku melihat Allah muka dengan muka, aku tidak akan kekurangan apa pun. Sampai hari itu, hatiku yang gelisah tertuju pada Firman-Nya dan menemukan penghiburan dalam kebenaran seperti ini:

Ya TUHAN, hatiku tidak meninggi, mataku tidak sombong, aku juga tidak berjalan dengan hal-hal yang besar dan hal-hal yang terlalu ajaib bagiku. Sesungguhnya, aku telah menyesuaikan diriku dan menenangkan jiwaku, seperti anak yang pisah susu dari ibunya, seperti anak yang pisah susu, jiwaku di dalam diriku. Hai Israel, berharaplah kepada TUHAN, dari sekarang sampai selama-lamanya. (Mzm. 131, AYT)

Kehilangan ayahku memang menyedihkan. Kematiannya mengubah hidupku selamanya. Namun, dalam kesedihanku aku bersukacita. Tuhan akan memegang aku dengan erat. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://thegospelcoalition.org/article/peace-unanswered-prayer
Judul asli artikel : Finding Peace in an Unanswered Prayer
Penulis artikel : Carrie Kell

Komentar