Memberikan Apa yang Tidak Terduga

Terdapat berbagai cara untuk menjelaskannya: berikan pipi yang lain,... berjalan satu mil lebih jauh,... melakukan hal yang baik kepada mereka yang membenci kita,... mengasihi musuh kita,... menumpukkan bara api di atas kepala seseorang. Kita mungkin mengatakannya dengan cara yang berbeda, tetapi tindakan yang dilakukan mengandung unsur yang sama. Dengan melakukan hal-hal yang tidak terduga, kita melakukan dua tujuan yang penting: 1. kita mengakhiri kepahitan, dan 2. kita membuktikan kebenaran yang sudah tua, kasih mengatasi segala sesuatu.

Ingat pernyataan Salomo?

Jikalau TUHAN berkenan kepada jalan seseorang, maka musuh orang itupun didamaikan-Nya dengan dia. (Amsal 16:7)

Itu benar. Saya telah melihatnya berulang kali. Saya juga telah melihat kesempatan bahwa hal itu akan berhasil, akan tetapi kedua belah pihak tidak ada yang mengusahakan untuk mencobanya.

Mengapa kita begitu ragu-ragu? Apa yang membuat kita melakukan hal yang tak terduga bagi mereka yang tidak layak sehingga kita dapat menyaksikan Allah mencapai hal yang luar biasa? Itu melayang dalam wajah kemanusiaan kita. Kita tidak dibesarkan seperti itu. Terlebih lagi, itu adalah risiko yang besar. Tidak perlu ditanyakan, itu sangat berisiko. Tentu saja, itu merupakan hal di mana iman memainkan peran utama. Untuk mempercayai Tuhan yang menghadapi segala rintangan dan mematuhi-Nya -- bahkan jika tindakan itu bersifat bumerang -- sehingga membawa senyum ke wajah-Nya. Tapi beberapa dari Anda yang membaca ini mengerutkan kening, berpikir, Ya, hal itu terdengar bagus, tapi tak seorang pun dapat melakukannya.

Yusuf melakukannya. Setelah menderita bertahun-tahun akibat perbuatan sewenang-wenang kakak-kakaknya yang marah, ia hidup untuk melihat hari ketika keadaan berbalik. Rentan, membutuhkan, dan tergantung oleh belas kasihannya, semua orang yang bersalah itu berdiri di hadapannya tanpa kata-kata pembelaan. Dan, ketika mereka mengetahui bahwa ia adalah Yusuf, adik mereka yang telah lama hilang, yang telah sengaja mereka salahkan, mereka dipenuhi dengan kecemasan. Mereka tahu, Yusuf telah membuat mereka benar-benar terpojok. Yusuf adalah perdana menteri yang dihormati. . . kuat, kaya, dikelilingi oleh para pengawalnya, teladan penting dari kekuasaan. Sementara mereka? Lemah, bangkrut, tidak memiliki perlindungan, benar-benar bersalah. Itu adalah saat Yusuf untuk membalas dendam. Saat itu, adalah waktu untuk melepaskan kemarahannya dan menyiksa mereka masing-masing sampai akhir hidupnya. Dan mengapa tidak? Mereka sudah datang... secara bersamaan! Sebaliknya, Yusuf malah melakukan hal yang tak terduga, yang mengejutkan saudara-saudaranya sampai ke bawah sandal usang mereka. Tidak ada dendam. Tidak membalas - bahkan, serangan untuk kembali melawan. Bahkan tidak juga berupa teguran. Mereka yang pantas mendapat kebencian manusia, menerima perlakuan yang adikodrati. Anugerah menang pada hari itu. Ia memaafkan mereka. . . dan sisanya adalah sejarah yang indah.

Saya dapat merasakan beberapa bahu yang sinis. Yah, itu dulu; sekarang adalah saat ini. Saat ini, tidak ada yang mengambil keburukan seseorang dan secara mental mendaur ulangnya menjadi harta karun. Betapa salahnya Anda.

Rabbi Michael Weisser melakukannya. Itu terjadi di Lincoln, Nebraska (menurut berita). Selama lebih dari tiga tahun, Larry Trapp, seorang yang memproklamirkan dirinya sebagai pendukung Nazi & Ku Klux Klan (gerakan rasis di Amerika Serikat yang melakukan kekerasan terhadap orang-orang kulit hitam, di mana dalam setiap aksinya menggunakan topeng, jubah dan topi putih berbentuk corong -red.), menyebarkan pesan kebencian melalui surat dan pembicaraan kasar di telepon. Dia menyebarkan propaganda supremasi kulit putih, anti-Semitisme, dan pesan-pesan berupa prasangka lainnya dari apartemennya, yang ia nyatakan sebagai markas negara KKK (Ku Klux Klan), dan dirinya sebagai sang naga besar.

Weisser menjadi salah satu sasaran Trapp. Ia menerima banyak lembaran surat kebencian, mulai dari saat ia dan istrinya pindah ke Lincoln. Surat-surat kemudian diikuti oleh telepon yang bersifat menyerang. Pada awalnya, keluarga Weissers begitu takut sehingga mereka mengunci pintu-pintu mereka dan khawatir hingga menjadi sakit atas keselamatan mereka, terutama atas keselamatan anak-anak mereka yang masih remaja. Pelecehan dalam penghinaan rasial dan komentar cabul mengintimidasi keluarga tersebut, seiring dengan kondisi Trapp, 42 tahun, yang secara klinis buta, diamputasi kedua kakinya, memuntahkan racunnya yang sarat dengan kebencian terhadap mereka.

Suatu hari, Rabbi Weisser menyadari bahwa ketakutan mereka sudah berlangsung cukup lama. Ia memutuskan untuk melakukan hal yang tak terduga. Ia meninggalkan pesan pada mesin penjawab telepon Trapp. Weisser membuat panggilan berulang kali, semuanya tidak dijawab, dan berbicara kepada Trapp dari sisi lain kehidupannya. . . sebuah kehidupan yang bebas dari kebencian dan rasisme. "Saya akan mengatakan hal-hal seperti: 'Larry, ada banyak cinta di luar sana. Anda tidak mendapatkan semua itu. Apakah Anda tidak ingin merasakannya?" Dan kemudian menutup teleponnya.

Suatu hari, Weisser menelepon, dan Trapp menjawab. Weisser berkata: "Saya mendengar Anda adalah seorang penderita cacat. Saya berpikir Anda mungkin membutuhkan tumpangan untuk berbelanja." Trapp terkesima. Dilucuti oleh kebaikan dan keramahan, ia mulai berpikir.

Pria yang penuh dengan kepahitan itu perlahan-lahan mulai melunak. Ia menelpon Weissers pada suatu malam dan berkata, seperti yang dikatakan oleh Rabbi Weisser, "Aku ingin keluar dari apa yang kulakukan, tetapi aku tidak tahu bagaimana." Weisser dan istrinya pergi ke apartemen Trapp malam itu, dan berbicara dengannya selama berjam-jam. Tidak lama kemudian, mereka mengadakan pertukaran: untuk cinta mereka, Trapp memberi mereka cincin swastika, brosur-brosur kebenciannya, dan jubah serta kerudung kelompok Ku Klux Klan. Pada hari yang sama, Trapp menghentikan pekerjaannya untuk merekrut orang-orang dan menghancurkan sisa dari propagandanya. Akhirnya, rumah Weissers 'menjadi rumah sakit untuk Mr Trapp. Ia pindah ke salah satu kamar tidur di rumah mereka saat kesehatannya menurun. . . Dan, pasangan Weisser merawatnya sampai pada kematiannya.

Natal sudah dekat. Mungkinkah hadiah terbaik Anda tidak dibungkus dengan kertas berwarna-warni dan diberikan kepada seseorang yang mencintai Anda? Bagaimana dengan memberi seseorang hadiah pengampunan? Bagaimana dengan mengisi secangkir penuh kebaikan? Bagaimana dengan membuat sebuah pembicaraan telepon tentang anugerah kepada seseorang yang tidak akan pernah mengharapkannya... tanpa pamrih? Sebuah perpanjangan cinta yang sejati kepada seseorang yang tidak layak mendapatkannya. Nah, sekarang, terdapat ide baru untuk sebuah hadiah Natal yang tidak akan pernah terlupakan.

Yah, itu beresiko... Tetapi Anda bukan orang pertama yang mencobanya. Jika Anda membutuhkan dorongan ekstra untuk melakukannya, ingatlah kembali di Betlehem, dan temukan hadiah Allah bagi kita yang terbungkus dalam kasih, terbaring di dalam palungan anugerah.

Berbicara mengenai melakukan hal tak terduga bagi mereka yang tidak patut mendapatkannya! (t/N. Risanti)

Diterjemahkan dari

Nama situs : Insight
Alamat URL : http://www.insight.org/resources/articles/christmas/giving-the-unexpected.html?t=christmas
Judul asli asli artikel : Giving the Unexpected
Penulis artikel : Charles R. Swindoll
Tanggal akses : 10 Oktober 2014

Komentar