Kunjungi Situs Natal
https://natal.sabda.org
Orang yang berbaring sakit dan tidak mampu berdiri merasa tidak berdaya. Mengambil dan memegang segelas air minum pun ia tidak kuat. Ia bergantung pada pertolongan orang lain. Ia tidak berdaya.
Hidup berawal dan berakhir dengan keadaan tidak berdaya. Sebagai bayi, kita hanya dapat berbaring dan menangis. Kelak, saat menghadapi ajal, kita juga hanya bisa berbaring dan meneteskan air mata.
Dalam garis sejarah umat manusia yang panjang terdapat sebuah titik kecil dan singkat, saat Allah menjelma sebagai seorang manusia. Penjelmaan hidup Allah itu juga berawal dan berakhir dalam keadaan tidak berdaya.
Allah memilih cara untuk mengawali hidup penjelmaan-Nya tanpa kuasa dan daya apa-apa. Ia menjelma menjadi seorang bayi di sebuah kota kecil di Palestina pada zaman penjajahan kekaisaran Romawi. Bayi itu dinamai Yesus. Penulis Alkitab bersaksi tentang "... bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan" (Lukas 2:16). Titik awal penjelmaan hidup Allah adalah menjadi orang yang tidak berdaya apa-apa, kecuali terlentang dan menangis.
Lalu, 33 tahun kemudian, Allah memilih cara untuk mengakhiri hidup penjelmaan-Nya juga tanpa kuasa dan daya apa-apa. Ia mati secara hina dina, yaitu digantung di kayu salib. Penulis Alkitab bersaksi, "Lalu berserulah (Yun. apheis phonen, artinya meraung atau menangis) Yesus dengan suara nyaring dan menyerahkan nyawa-Nya" (Markus 15:37). Ujung akhir penjelmaan Allah adalah lagi-lagi menjadi orang yang tidak berdaya kecuali terlentang dan menangis.
Masa 33 tahun antara kelahiran dan kematian Yesus itu pun jauh dari keadaan daya dan jaya. Ia dibesarkan dalam keluarga perajin kayu. Ia bersekolah di desa. Pada usia dewasa, Ia menjadi seorang guru keliling. Ia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala, apalagi harta benda. Hidup-Nya sederhana bersahaja, tanpa daya dan jaya.
Tidak masuk akal bahwa Allah yang betul-betul mahakuasa memilih cara lahir, cara hidup, dan cara mati seperti itu. Akan tetapi, ternyata Ia memilih cara mengawali, menjalani, dan mengakhiri penjelmaan-Nya sebagai orang yang tidak berdaya.
Mungkin itu wujud solidaritas Allah kepada orang-orang yang tidak berdaya. Ada begitu banyak orang yang tidak berdaya. Tidak berdaya secara fisik. Tidak berdaya secara keuangan. Tidak berdaya secara kedudukan atau lainnya. Mereka tersingkir. Mereka ada di pinggir. Mereka dipandang dengan mulut mencibir. Namun, Allah sengaja menempatkan diri di antara mereka.
Atau, mungkin itu adalah wujud solidaritas Allah kepada seluruh umat manusia, sebab bukankah sebenarnya kita semua pun, cepat atau lambat, akan menjadi tidak berdaya?
Memang, sekarang kita masih berdaya dan punya kuasa. Kita mampu berbuat ini dan itu. Kita berlakon bak Yang Mahakuasa di rumah, di tempat kerja, di jalan raya, bahkan juga di gereja. Padahal, bukankah keberdayaan kita itu cuma seperti telur di ujung tongkat yang sembarang waktu akan tamat?
Sebaliknya, Allah yang betul-betul mahakuasa malah sengaja memilih cara lahir, cara hidup, dan cara mati secara bersahaja dan tidak berdaya. Itulah kesaksian para rasul yang siang malam berombongan dengan Yesus.
Lalu, beberapa hari setelah Yesus mati secara hina itu, para rasul bersaksi bahwa Yesus telah dibangkitkan oleh Allah. Di hadapan kerumunan orang-orang yang datang dari berbagai wilayah Timur Tengah, para rasul menegaskan, "Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan tentang hal itu kami semua adalah saksi" (Kisah Para Rasul 2:32).
Semua kejadian itu susah dibayangkan oleh kita sebagai orang zaman modern. Namun, itulah yang terjadi. Allah menjadi orang sehari-hari. Allah yang mahakuasa ternyata tidak sok kuasa. Ia menjadi orang yang tidak berdaya. Dan, semua itu berawal pada malam Natal.
Apa gerangan maksud Allah dengan semua kejadian itu? Apa gerangan maksud Allah menjadi Guru keliling yang bernama Yesus itu? Apa yang diajarkan oleh Guru itu? Yang diajarkan dan diteladankan oleh Guru itu adalah sebuah hidup yang baru. Hidup baru itu menawarkan kepada kita sebuah hidup yang berbeda, bukan lagi hidup yang dikendalikan oleh gila kuasa, gila harta, dan gila angkara. Sebaliknya, kita diajak hidup seperti guru bernama Yesus itu yang hati-Nya dikendalikan oleh Allah yang penuh cinta.
Segala ihwal ini berawal pada malam Natal, saat Allah melepaskan segala keberdayaan-Nya lalu menjadi seorang bayi yang tidak berdaya. Natal adalah lambang kerelaan Allah untuk menjadi tidak berdaya. Natal adalah perayaan ketidakberdayaan. Kita merayakan ketidakberdayaan Allah. Tepatnya, kita merayakan buah dari ketidakberdayaan Allah. Buah itu adalah berjalan mengikuti Guru keliling bernama Yesus yang hati-Nya berlubuk cinta.
Malam Natal memang sarat makna. Malam Natal sarat dengan makna yang membuat kita jadi terpana dan ternganga. Pada malam Natal, tidak perlu lagi ada suara. Tidak ada tempat lagi untuk kata-kata. Tidak ada waktu lagi untuk upacara. Yang Dia tunggu dari kita cuma langkah nyata.
Sumber asli: | ||
Judul buku | : | Selamat Berpelita |
Judul bab | : | Natal: Allah Tidak Berdaya |
Penulis | : | Andar Ismail |
Penerbit | : | PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 2011 |
Halaman | : | 98 -- 101 |
Diambil dan disunting dari: | ||
Nama situs | : | Natal |
Alamat URL | : | https://natal.sabda.org |
Penulis | : | Andar Ismail |
Tanggal akses | : | 17 Oktober 2013 |