Berbagi Perasaan dengan Enah

Bahu Susi naik turun dan dari mulutnya terdengar batuk-batuk yang ditahan. Batuk berderai terus-menerus, sehingga napasnya seperti akan terhenti.

Batuk memang penyakit ringan, namun jika dibiarkan berlarut-larut bisa juga menghabiskan tenaga, seperti diakui Susi.

Sudah hampir dua bulan lamanya ia mondar-mandir ke berbagai dokter. Sudah ke laboratorium, ke poliklinik. ke tukang jamu. Sudah membalur dada dengan irisan jahe dan bawang merah yang menimbulkan bau yang menusuk hidung; pendek kata sudah bermacam-macam cara dilakukan. Batuknya tidak juga sembuh.

Susi sudah mendekati putus asa. Adakah penyakit yang tak dapat ditemukan atau disembuhkan oleh dokter? Sakit apa gerangan?

Dokter terakhir yang ditemuinya, seorang ahli penyakit paru-paru, berkata baik paru-paru maupun saluran pernapasannya tak mengalami gangguan sedikit pun. Ia sehat.

Dan batuk itu?

"Saya rasa, batuk Anda cuma merupakan gejala psikomatik. Artinya, Anda sedang mengalami suatu tekanan batin yang disembunyikan. Tekanan ini mengganggu juga sekadarnya dan dinyatakan dalam batuk-batuk."

Omong kosong, gerutu Susi di dalam hati waktu membayar kepada dokter.

Mana mungkin aku menderita tekanan batin? Karena apa? Bukankah hidupku sangat senang -- suami yang baik dan punya uang, kehidupan materi yang berkecukupan, anak-anak yang manis dan lucu? Masih adakah yang kurang? Setiap sekian waktu sekali, kami sekeluarga pergi tamasya. Kalau tak ke luar pulau ya ke luar negeri.

"Bu, ini saya bawakan obat mujarab dari kampung. Asalnya dari 'orang pintar' yang masih termasuk kerabat saya. Tujuannya supaya batuk ibu bisa sembuh," bisik Enah, pembantunya yang sudah puluhan tahun mengabdi di rumahnya.

Enah, yang berwajah keriput dimakan zaman, sangat sabar dan setia bekerja. Enah, diam-diam rupanya turut merasakan penderitaan majikannya. Dan atas inisiatif sendiri telah mencarikan obat baginya.

Susi lama tertegun memandang wajah Enah.

Dipegangnya tangan Enah dan bertanya perlahan di sela-sela batuk.

"Mengapa kamu begitu baik, Enah?"

"Karena ibu sangat baik kepada saya."

"Dan apa maksudmu dengan 'orang pintar'?"

"Pokoknya saya ingin agar ibu cepat sembuh seperti biasa, sehingga bapak, anak-anak, dan saya sendiri bisa ikut gembira."

Susi memalingkan wajahnya ke luar jendela. Wanita itu, walaupun hanya seorang pesuruh, turut merasakan penderitaannya. Ia menginginkan kesembuhannya, sampai pergi ke "orang pintar". Ia tentu tak tahu, Susi tidak suka kepada "orang pintar" dari dusunnya.

Botol yang berisi air putih diterimanya seraya menunjukkan wajah manis sebagai tanda terima kasih. Di dalam hati ia merasa terharu.

Ketika serangan batuknya telah mereda, Susi bangkit dari beranda lalu menuju ke kamar tidurnya. Dikuncinya pintu dari dalam.

Botol air putih diletakkan di sebuah sudut gelap. Ia menuju ke tempat tidurnya, dan berlutut di lantai. Kedua tangannya disatukan dan diletakkan di atas kasur.

Ia sadar bahwa selama ini ia lalai melakukan sesuatu. Kelalaian karena lupa. Kini ia dengan rendah hati ingin melaksanakan kembali kewajiban yang "terlupa", yakni berlutut untuk meminta ampun akan kelalaiannya. Seraya menyerahkan diri, baik dalam suka maupun duka kepada-Nya.

Hanya dengan demikianlah ia dapat merasakan kedamaian batin. Dan dengan pulihnya kedamaian di dalam batinnya, ia akan kembali sehat seperti sediakala. Batuk-batuk akan terhenti dan gejala psikomatik atau apa pun juga namanya akan lenyap dengan sendirinya.

Susi sangat yakin kalau ia memohon sepenuh hati, ia akan menerima mukjizat langsung dari pada-Nya, bukan melalui air putih yang dimasukkan ke dalam botol oleh-oleh dari Enah.

"Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya, sebab Ia yang memelihara kamu." (Petrus 5:7)

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Untaian Mutiara
Penulis : Betsy T
Penerbit : Gandum Mas, Malang
Halaman : 46 -- 48

Komentar