Pengabaran Injil Pertama

Malam itu menjelang Natal. Sepanjang hari hujan turun rintik-rintik. Angin bertiup agak kencang. Brrrr ..., dingin! Kebaktian di gereja sudah selesai. Dan orang-orang cepat pulang ke rumahnya masing-masing.

Rumah keluarga Hasibuan dihiasi indah. Halomoan dan Ida senang sekali. Mereka duduk di atas tikar dekat pohon terang, menikmati hiasan-hiasan. Dan terutama ... bungkusan-bungkusan di bawah pohon terang. Mereka tahu, itu hadiah-hadiah yang sebentar akan dibagi.

"Kami siap, Ayah," kata Halomoan.

"Ya," sambung Ida, "cerita yang paling berkesan bagiku ialah bagaimana Tuhan Yesus dilahirkan."

"Tahukah kalian mengapa pada waktu Natal, kita selalu menghiasi pohon den (pohon cemara)?" tanya ayah.

Kedua anak menggelengkan kepala. Ibu tersenyum, lalu bertanya, "Di sekolah, Ibu Guru tak menceritakannya?"

Jawab Halomoan, "Aku sudah kelas lima, tapi belum pernah mendengar itu!"

"Apalagi aku, baru kelas tiga!" sambung Ida.

Ayah mulai menjelaskan, "Ayah tak tahu secara tepat, siapa yang mulai menggunakan pohon den pada perayaan Natal. Tetapi yang pasti ialah bahwa 300 tahun yang lalu, ada seorang di Jerman bernama Martin Luther. Ia seorang pendeta. Dan ia mengajar banyak tentang Tuhan Yesus. Juga kepada anak-anak.

Martin Luther sendiri memunyai 6 anak. Pada suatu waktu, selagi merayakan Natal, Martin Luther menebang sebuah pohon den kecil. Ia menempatkannya di rumahnya dan menghiasinya dengan lilin. Malam harinya, lilin-lilin itu dinyalakan dan seluruh keluarga duduk mengelilinginya."

"Sama seperti kita ini, ya Ibu?" Ida menyela.

"Ssst! Diam kau, Ayah masih bercerita," sentik Halomoan.

Ayah tersenyum dan melanjutkan, "Martin Luther menceritakan kepada keluarganya, bahwa pohon den yang selalu segar bugar itu mengingatkan kita akan hidup yang kekal. Yaitu, barang siapa yang percaya kepada Tuhan Yesus, ia memperoleh hidup yang kekal."

Ayah memandang kedua anaknya, lalu bertanya, "Halomoan, kau anak cerdas. Ayah sudah menceritakan asal mula pohon terang ini. Kalau orang Kristen menghiasi pohon terang pada Natal, sebagai tanda apa kita melakukan hal itu?"

Halomoan tidak serentak menjawab, ia berpikir-pikir ....

Kata Ida, "Kelahiran Tuhan Yesus!"

"Ssst! Diam kau, Ayah masih bercerita," sentak Halomoan.

Ia berpikir sejenak lagi, lalu menjawab, "Pohon terang ini adalah tanda kepercayaan kita akan Tuhan Yesus, bukan?"

"Benar," kata ayah, "kalau keluarga Kristen memakai pohon terang, itu bukan saja sekadar sebagai peringatan kelahiran Tuhan Yesus. Martin Luther menggunakannya dalam perayaan keluarganya untuk mengajar anak-anaknya tentang iman dan hidup yang kekal."

"Lalu, lilin-lilin itu tanda apa, Pak?" tanya Halomoan.

Jawab ayah, "Lilin-lilin yang menyala itu mengingatkan kita akan langit cerah penuh dengan bintang-bintang dan malaikat-malaikat, pada malam Natal pertama. Pada malam itulah Tuhan Yesus dilahirkan. Jelas?"

"Ayah," tanya Ida, "cerita itu bagus juga, tetapi Ida ingin dengar cerita Natal yang asli."

"Baiklah," jawab ayah. "Malam ini Ayah ceritakan tentang pengabar-pengabar Injil yang pertama."

"Pengabar-pengabar Injil?"

Ida mengomel lagi, "Ida mau dengar cerita Natal, Yah."

"Sabar dulu," kata ayah, "nanti kalian akan mengerti bahwa ini sungguh-sungguh cerita Natal asli." Lalu mulailah ayah dengan ceritanya.

Sekitar 1.900 tahun lebih yang lampau, ada seorang wanita muda di kota Nazaret. Namanya Maria. Ia akan kawin dengan Yusuf. Mereka sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk pesta perkawinannya.

Sekali peristiwa, Maria sendirian di rumah. Ia didatangi oleh malaikat Tuhan. Kata malaikat Tuhan, "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Maria agak takut. Ia sungguh percaya kepada Tuhan dan rajin beribadah.

Karena itu, ia tak mengerti mengapa malaikat datang kepadanya dengan pesan aneh.

Malaikat itu menenangkannya, "Kau tak usah takut Maria, sebab Tuhan sangat sayang kepadamu. Kau akan menjadi ibu seorang anak, yang harus diberi nama Yesus. Dialah yang akan menyelamatkan dunia. Semua itu akan terjadi dengan kuasa Roh Kudus."

Maria adalah seorang wanita Yahudi. Dan ia tahu bahwa tiap orang Yahudi sejak zaman dulu menanti-nantikan kedatangan seorang Pembebas dari penjajahan asing. Raja Yahudi itu merupakan Juru Selamat bagi seluruh bangsa. Bukankah aneh bahwa Tuhan memilihnya menjadi ibu Juru Selamat itu? Pada zaman purbakala, telah ada nubuat bahwa Juru Selamat akan dilahirkan di kota Bethlehem. Tetapi Maria dan Yusuf tinggal di kota Nazaret. Wah, itu lebih dari 200 km jaraknya. Dan tidak ada alasan sama sekali untuk mengadakan perjalanan sejauh itu. Bagaimana bisa anak itu nantinya dilahirkan di Bethlehem?

Tepat pada waktunya, kaisar kerajaan Roma mengeluarkan perintah supaya setiap penduduk harus kembali ke tempat kelahirannya. Supaya disensus di sana. Karena itu, Yusuf dan Maria terpaksa mengadakan perjalanan sejauh itu sebab semua famili Yusuf berasal dari Bethlehem.

Pada zaman itu belum ada bis atau kereta api. Apa lagi pesawat terbang. Perjalanan pada waktu itu berarti jalan kaki atau naik keledai. Hanya orang kaya yang dapat naik kereta atau kuda. Yusuf adalah tukang kayu biasa. Mereka menggunakan keledai. Maria menunggangnya dan Yusuf berjalan.

Setibanya di Bethlehem, Yusuf berusaha mendapatkan tempat dalam penginapan. Tetapi semuanya penuh. Maria sudah letih dan Yusuf kecewa. Ada seorang pemilik penginapan yang baik. Memang semua kamar sudah penuh. Tetapi ia menawarkan tempat dalam sebuah kandang di belakang rumah. Kandang itu tidak dipakai, dan tempatnya hangat. Wah, Maria dan Yusuf sungguh senang mendapat tempat untuk bermalam. Masih ada begitu banyak tamu lain yang juga belum mendapatkan tempat bermalam. Mereka bersyukur kepada Tuhan, lalu tidur.

Malam itu juga ada beberapa gembala di padang sedang menjaga kawanan dombanya. Mereka sedang bercakap-cakap tentang orang banyak yang berduyun-duyun datang ke Bethlehem. Tak disangka bahwa begitu banyak rakyat yang adalah keturunan dari Bethlehem. Sementara mereka bercakap-cakap, langit menjadi terang benderang. Heranlah gembala-gembala itu. Wah! Terkejutlah mereka. Ada malaikat yang mendekati mereka. Apa katanya?

"Janganlah takut kawan-kawan. Kusampaikan berita kesukaan. Malam ini lahir di Bethlehem Sang Juru Selamat, yaitu Kristus Tuhan."

Gembala-gembala itu heran sekali atas berita itu. Benarkah itu?

Mimpikah mereka? Masa malaikat khusus datang kepada mereka untuk menyampaikan berita seperti itu? Apalagi lahirnya Sang Juru Selamat!

Malaikat melanjutkan, "Kalian akan menjumpai Bayi itu terbaring dalam palungan dan dibungkus kain lampin."

Aneh sekali. Tempat kelahiran sang Juru Selamat rupanya di kandang hewan? Gembala-gembala masih berpikir-pikir tentang apa yang didengarnya dari malaikat itu, tiba-tiba langit itu penuh dengan ribuan malaikat. Serupa suatu biduan besar mereka menyanyi, "Muliakan Allah di tempat mahatinggi. Damai di atas bumi untuk orang yang berkenan kepadanya."

Terpesona betul gembala-gembala itu. Wah, luar biasa betul pengalaman ini. Luar biasa pula berita yang didengarnya.

Langit gelap kembali dan tenang seperti semula.

"Mari kita ke Bethlehem," ajak salah seorang gembala. "Kita harus memeriksa apa yang telah terjadi di sana. Apakah cocok dengan pesan malaikat tadi."

Berduyun-duyun mereka memasuki kota. Tenang sekali di sana.

Bagaimana mencari bayi yang baru lahir itu? Semua rumah penuh sesak. Demikian juga penginapan-penginapan. Pendeknya mereka berusaha dan berhasil juga.

Bayi itu dijumpainya, terbungkus dengan kain lampin, terbaring dalam palungan. Di situ ada Yusuf dan Maria, orang tuanya. Begitulah para gembala bersujud dan menyembah di depan palungan. Mereka mengucapkan "s`lamat bahagia" kepada Yusuf dan Maria. Ya, mereka memuji-muji Tuhan karena Juru Selamat itu sudah ada.

Gembala-gembala tidak menyimpan berita kesukaan itu. Mereka ingin supaya semua orang di Bethlehem dan sekitarnya mengetahuinya. Siapa saja yang dijumpainya, terus diceritakan tentang kelahiran Sang Juru Selamat.

Tentu ada orang-orang yang kurang percaya dengan berita itu. Apalagi kalau diceritakan oleh gembala-gembala biasa. Bagaimana bisa!

"Saksikan sendiri!" Dan gembala-gembala memberi petunjuk letaknya kandang itu. Lalu datanglah orang berduyun-duyun ke kandang itu untuk menyambut Juru Selamat. Gembala-gembala terus berkeliling di kota Bethlehem malam itu.

Waktu mereka kembali ke padang, hari sudah siang. Siapa saja yang ditemuinya, kepadanya disampaikan berita kesukaan itu.

Sepanjang hari, mereka sibuk menjumpai orang-orang untuk memberitahukan tentang kelahiran Juru Selamat. Dan bukan saja hari itu saja. Pada hari-hari berikutnya pun mereka tidak jemu untuk mendapatkan orang-orang, agar berita kesukaan itu disampaikan juga kepada yang belum mendengarnya.

Kata Bapak Hasibuan, "Inilah cerita tentang gembala-gembala. Merekalah pengabar-pengabar Injil yang pertama. Mereka mendengar tentang Tuhan Yesus. Mereka mencari dan menjumpai Tuhan Yesus. Mereka menyembah-Nya. Dan mereka pergi keluar mendapatkan orang-orang lain untuk mengabarkan berita kesukaan."

"Waduh," sambut Ida, "indah sekali cerita itu. Aku tak menyangka gembala-gembala menceritakan kelahiran Tuhan Yesus kepada orang lain."

"Kusangka Pak, gembala-gembala itu kembali lagi ke padang dan melanjutkan tugasnya," sambung kakaknya.

Ibu menjelaskan kepada kedua anaknya, "Tuhan sudah menunjukkan jalan kepada gembala-gembala itu. Begitu juga sekarang, Tuhan menunjukkan jalan kepada kita. Yakni melalui pengabaran Injil. Dan kalau kita menjumpai Tuhan, itu berarti kita percaya kepada Tuhan Yesus. Lalu Tuhan ingin supaya kita tidak tinggal diam. Tetapi mengabarkan Injil itu kepada orang-orang lain juga. Sama seperti yang gembala-gembala perbuat."

"Oh," kata Halomoan, "seperti cerita bersambung saja nih."

"Apa itu?" tanya adiknya.

"Iyaaa, masakan kau tak tahu. Gembala menceritakannya. Lalu orang yang mendengar itu menceritakannya lagi kepada yang lain. Jadi, sambung-menyambung sampai semua orang mendengarnya. Bukan begitu, Pak?"

"Ya, ya," ayah mengangguk. "Kita juga mesti begitu. Menceritakannya terus-menerus kepada yang belum mendengarnya. Hanya dengan demikian, kita menjadi bahagia sama seperti gembala-gembala itu pada Natal pertama."

"Hai!" kata Halomoan, "sekarang aku mengerti Pak, mengapa tadi Bapak menyebut gembala itu pengabar Injil pertama. Ya, ya, mereka betul-betul pengabar injil."

"Kita juga?" tanya Ida.

"Ya Ida," sambung Ibu, "kita juga!"

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Liturgi Natal untuk Keluarga
Judul asli artikel : Pekabaran Injil Pertama
Penulis : Pdt. D.R. Maitimoe
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992
Halaman : 13 -- 19

Dipublikasikan di: http://wanita.sabda.org/pengabaran_injil_pertama

Komentar