Kunjungi Situs Natal
https://natal.sabda.org
Saya diberi tahu bahwa burung nasar yang turun atas seekor binatang yang terluka akan langsung menuju mata dari korbannya. Sepertinya mereka tahu bahwa jika masih ada sedikit kemungkinan untuk hidup, maka mereka harus menyingkirkan penglihatan dari korbannya. Demikian pula setan, seperti burung nasar itu, mengerti akan nilai penglihatan bagi pendoa syafaat. Paulus juga mengetahui akan nilai ini dan ia berdoa supaya "mata hati" orang-orang percaya menjadi "terang". (Efesus 1:18, NEB) Namun sayang sekali, terlalu banyak pengikut Kristus yang tidak mencapai hasil karena mereka tidak memunyai visi. Fokus mereka sering kali tercerai-berai. Diperlukan suatu visi tunggal seperti yang dikatakan Jack Hayford, "Apabila engkau mengurangi lingkup suatu kegiatan atau kehidupan, maka engkau meningkatkan kekuatan dari kegiatan atau kehidupan itu".
Kejernihan Visi
Empat teks bacaan dasar dalam Alkitab memberikan kepada para pendoa syafaat suatu dasar untuk mengembangkan kejernihan visi. Pertama, Amsal 4:23-26 menolong saya untuk menentukan tujuan saya. "... Biarlah matamu memandang terus ke depan dan tatapan matamu tetap ke muka. Tempuhlah jalan yang rata dan hendaklah tetap segala jalanmu." Para pendoa syafaat harus tahu ke mana mereka pergi. Mata kita harus tertuju pada pokok persoalan yang paling dekat dengan hati Tuhan. Siapakah yang secara khusus hari ini Tuhan ingin saya doakan? Bangsa-bangsa atau kelompok-kelompok mana yang akan dijamah melalui waktuku bersama Tuhan hari ini?
Kedua, Ayub menolong saya untuk percaya dalam kemenangan! Ayub berseru dalam penderitaannya, "Aku tidak akan menyerah selama aku hidup. Aku tidak akan berubah, aku akan mempertahankan kebenaran tujuanku." (Ayub 27:6 NEB) Di tengah-tengah penderitaannya yang paling dalam, Ayub berpegang teguh pada keyakinannya bahwa Tuhan sedang melakukan sesuatu yang jauh melampaui kemampuan manusia. Benar, memang ada kalanya Ayub meragukan adanya kemungkinan untuk menang. Tetapi ia pantang menyerah. Ia berpegang kepada janji-janji-Nya. Sebagai orang percaya, terutama orang percaya yang bersyafaat, kita harus gigih. Kita harus menjadi orang "fanatik" sama seperti Ayub yang berkata, "aku tidak akan menyerah". Suatu saat Winston Churchill dikatakan sebagai seorang yang fanatik. "Saya mengaku bersalah," ia berkata sambil menambahkan definisi mengenai fanatik yaitu seseorang yang tidak dapat mengubah pendapatnya dan tidak mau mengubah pokok persoalan. Pendoa-pendoa syafaat yang memunyai beban untuk dunia yang terhilang, memunyai kesulitan untuk tinggal diam. Anda tidak bisa mengubah pikiran mereka, dan mereka tidak pernah mau mengubah pokok persoalan. Mereka telah dekat dengan ruang takhta untuk waktu yang begitu lama, sehingga hal-hal lain tidak berarti bagi mereka. Mereka telah menjadi orang fanatik dan pantang menyerah.
Ketiga, Filipi 3:13-14 menolong saya menerima hadiah Saya! Paulus berbicara tentang "hadiah" yang ditaruh di hadapan orang percaya sebagai "panggilan surgawi dari Tuhan". Menurut pendapat saya tidak ada panggilan surgawi yang lebih besar dari doa syafaat. Paulus berkata kepada orang-orang Filipi: "Aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus". (Filipi 3:13-14)
Untuk dapat menerima hadiah kita sebagai pendoa syafaat, Paulus menunjuk kepada beberapa sifat tertentu dari roh yang dapat menolong kita. Kerendahan hati merupakan syarat yang mutlak. Kita harus dapat berkata seperti Paulus, "Aku sendiri tidak menganggap bahwa aku telah menangkapnya." Pikiran yang bulat, yang tidak bercabang adalah salah satu syarat lain untuk doa syafaat yang efektif. "Satu hal yang kulakukan!" kata Paulus. Sebuah kenyataan yang menyedihkan terjadi di gereja sekarang ini adalah bahwa begitu banyak orang berusaha melakukan begitu banyak hal, sehingga pada akhirnya hanya sedikit yang dicapai. Bila terjadi kegagalan kita harus bisa menjadi orang yang mudah untuk melupakannya. Kita harus belajar dari kegagalan, tetapi seperti yang dikatakan Paulus, kita harus melupakan apa yang ada di belakang kita dan maju ke depan menjangkau apa yang Tuhan telah sediakan bagi kita.
Keempat, 1 Korintus 9:26 menolong saya menetapkan sasaran saya. Paulus berkata, "Aku berlari dengan sasaran yang jelas di hadapanku." (NEB) Di dalam The Living Bible ditulis, "Aku berlari lurus menuju ke sasaran dengan maksud yang pasti dalam setiap langkah." Kepada orang Efesus Paulus menulis: "Kemudian hiduplah dengan rasa penuh tanggung jawab, jangan seperti orang yang tidak tahu akan artinya hidup, tetapi sebagai orang yang tahu apa artinya hidup ini." (Efesus 5:16-17) Apakah kita memunyai sasaran yang jelas? Hal ini penting bagi doa syafaat yang efektif. Ke mana kita harus mencarinya ketika kita menetapkan sasaran kita? Jawabannya sekali lagi terdapat dalam teladan pendoa syafaat tertinggi kita yaitu Kristus. Kita harus menemukan prioritas mana yang ditentukan Yesus dan kemudian kita mengejarnya dengan bersemangat.
Prioritas Seorang Pendoa Syafaat yang Besar
Beberapa tahun yang lalu ketika saya membaca Injil Yohanes, saya berhenti sebentar untuk merenungkan kedalaman dari sebuah ungkapan yang keluar dari bibir Yesus: "Aku harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku ..." (Yohanes 9:4) Yang menarik perhatian saya adalah ungkapan "Aku harus". Yesus tidak berkata, "Aku harap," atau, "Aku akan mencoba". Melainkan Ia menekankan, "Aku harus". Kata "harus" menyatakan suatu tekad yang bulat untuk melakukan suatu tugas. Kata harus bila dipakai sebagai kata kerja, menunjukkan suatu desakan atau suatu keputusan yang pasti, seperti dalam pernyataan "Saya harus makan" atau "Saya harus tidur". Bila dipakai sebagai kata benda, kata harus menggambarkan suatu syarat mutlak atau tanggung jawab yang tak terelakkan, misalnya "Makan adalah suatu keharusan".
Saya ingin tahu berapa kali Yesus berbicara tentang misi doa syafaat-Nya dengan menggunakan kata harus. Dengan pertolongan buku konkordansi saya menemukan bahwa ada 83.898 kata di dalam kitab Injil versi King James; namun dalam menggambarkan tujuan-Nya sendiri, Yesus memakai kata perintah harus hanya delapan kali. Kata "harus" ini menggambarkan prioritas khusus dalam kehidupan Kristus. Bila kita rangkumkan bersama, semuanya ini tak ternilai harganya bagi kita, karena kita mencoba untuk mengikuti teladan-Nya sebagai pendoa syafaat. Semua itu mencakup antara lain:
1. Sebuah Komitmen untuk Menderita
Dalam urutan yang turun-temurun dari Injil, catatan pertama tentang keilahian Yesus yang mutlak (dalam hal ini dinyatakan dalam bentuk orang ketiga) terdapat dalam tulisan Markus: "Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak ..." (Markus 8:31) Walaupun menunjuk kepada diri-Nya sendiri dengan kata ganti orang ketiga sebagai "Anak Manusia", penting sekali untuk diketahui bahwa Yesus memakai kata mutlak "harus". Itu adalah perkenalan kita pada gaya hidup-Nya sebagai pendoa syafaat. Dengan kata lain, Kristus ingin mengatakan bahwa semua orang yang mau menjadi pendoa syafaat, harus mengerti hubungan antara doa syafaat dan penderitaan. Prioritas pertama kita sebagai pendoa syafaat adalah: "Untuk menjadi seperti Yesus, maka saya harus membuat sebuah komitmen untuk menderita". Yesus menghubungkan penderitaan dengan penolakan. Banyak orang sering salah mengerti para pendoa syafaat yang sungguh-sungguh, karena mereka cenderung terlalu percaya pada suatu hal dan karena mereka sering mendengar dari Tuhan mengenai masalah yang serius. Intensitas mereka kadang-kadang mengundang kritik bahwa mereka "kehilangan keseimbangan" dalam perjalanan kekristenan mereka, bahwa mereka begitu berpikiran surgawi sehingga mereka tidak berpijak di alam nyata.
Pendoa syafaat tidak dibebaskan dari penderitaan jasmani. Menarik sekali untuk diketahui bahwa Alkitab sesungguhnya memerintahkan kepada kita untuk menderita. Paulus mengatakan kepada orang percaya di Korintus, "Jangan terjadi perpecahan dalam tubuh ... tetapi jika satu anggota menderita, biarlah semua anggota turut menderita dengan dia." (1 Korintus 12:25-26) Kepada orang Roma, Paulus menyatakan, "Menangislah dengan mereka yang menangis." (Roma 12:15) Meskipun kita sendiri tidak terluka, namun kita harus menemukan mereka yang terluka dan turut menderita dengan mereka. Perintah untuk menderita terutama cocok untuk pendoa syafaat. Hal ini tidak berarti bahwa kita harus menyakiti diri sendiri secara jasmani, melainkan untuk menyadari bahwa peperangan rohani dapat meninggalkan tanda bekas luka peperangan, sementara kita menuju kemenangan mutlak. Yesus menikmati kemenangan kebangkitan hanya setelah mengalami penderitaan di Getsemani dan Kalvari.
2. Sebuah Komitmen pada Tugas
Dari catatan pertama perkataan Kristus sebagai anak yang berusia dua belas tahun, walaupun berada di urutan ke dua dalam urutan alkitabiah Injil tradisional, timbullah suatu kebenaran yang memberikan kepada kita prioritas kedua dari prinsip Kristus (Lukas 2:48-49). Sebagai anak Yahudi yang berusia dua belas tahun, Yesus dibawa ke Yerusalem untuk menghadiri upacara yang disebut Bar-Mitzvah. Ia mulai "menginjak umur remaja" dan Bar-Mitzvah adalah suatu perayaan yang mengakui keberadaan-Nya menjadi remaja. Banyak anggota keluarga yang menghadiri perayaan itu. Hal ini membuat kita lebih mudah mengerti bagaimana ketika meninggalkan Bait Allah untuk memulai perjalanan pulang yang jauh, orang tua Yesus berpikir bahwa putra mereka berada di antara kumpulan anggota keluarga yang besar jumlahnya itu.
Tiga hari telah berlalu sebelum orang tua Yesus menyadari bahwa anak mereka tidak ditemukan di mana-mana. Ketika bergegas kembali, mereka sangat heran menemukan Yesus tinggal dalam Bait Allah dan duduk di antara para guru Ibrani sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Lukas menulis tentang peristiwa ini: Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau." Jawab-Nya kepada mereka: "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus melakukan pekerjaan Bapa-Ku?" (Lukas 2:48-49) Jadi, perkataan Kristus yang pertama kali dicatat berisi suatu keilahian yang sempurna. Bentuk kalimat perintah ini menekankan komitmen-Nya pada tugas. "pekerjaan Bapa-Nya" adalah penebusan dosa umat manusia.
Dalam hal ini, kita menemukan prinsip kedua bagi pendoa syafaat: "Untuk menjadi seperti Yesus, saya harus melakukan pekerjaan Tuhan". Kristus mendahului panggilan-Nya kepada murid-murid-Nya yang pertama dengan perkataan "Ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia". (Markus 1:17) Pekerjaan Tuhan dapat dibicarakan dengan berbagai macam cara, tetapi dasarnya tidak bisa dihindarkan: Yesus datang, hidup dan mati untuk menebus dosa umat manusia. Menyelamatkan jiwa-jiwa adalah "pekerjaan" Bapa-Nya, dan pendoa syafaat yang telah berjanji untuk melakukan pekerjaan Bapa dengan sungguh-sungguh, akan menaruh penginjilan dunia pada prioritas yang paling utama pada daftar doa pribadi mereka.
3. Sebuah Komitmen untuk Misi
Perintah ilahi berikutnya bagi pendoa syafaat yang besar berurusan dengan misi. Dari perjalanan kelilingnya memberitakan Injil di kota-kota padang pasir tertentu dekat Kapernaum, Lukas berkata: "Ketika hari siang, Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mencari Dia, lalu menemukan-Nya dan berusaha menahan Dia supaya jangan meninggalkan mereka. Tetapi Ia berkata kepada mereka: Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus." (Lukas 4:42-43) Di sini Kristus menekankan komitmen-Nya pada misi yang paling utama dalam hidup-Nya yaitu mendirikan Kerajaan Tuhan di mana-mana.
Yesus menyelesaikan pelayanan-Nya di Kapernaum dan akan bergerak ke suatu tempat di padang gurun ketika sekumpulan orang banyak mengikuti Dia. Mereka telah menyaksikan dampak dari pelayanan-Nya yang disertai dengan banyak mukjizat ke mana pun Ia pergi, dan mereka menginginkan lebih banyak lagi. Hal yang sama terjadi di beberapa gereja sekarang ini, di mana orang ingin menimbun berkat Tuhan. Tetapi perhatikan reaksi Kristus terhadap mereka yang menimbun berkat itu: "Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Tuhan di kota-kota lain juga."
Dari pernyataan Yesus di atas, kita menemukan prinsip ketiga bagi pendoa syafaat: "Untuk menjadi sama seperti Yesus, saya harus pergi untuk memberitakan Injil". Ini adalah suatu prinsip yang menekankan sebuah komitmen untuk misi. Semua orang percaya diperintahkan untuk terlibat dalam Amanat Agung. Gereja dipanggil untuk pergi ke seluruh dunia. Setiap orang, di mana saja harus diinjili. Supaya gereja pergi ke mana saja, setiap orang percaya harus mulai pergi ke suatu tempat.
Bagi banyak orang hal ini paling baik dapat dilakukan di atas lutut! Oleh karena itu, kita menunjuk pada prinsip ini sebagai sebuah komitmen untuk misi-misi, dalam bentuk jamak. Setiap kita memunyai suatu misi khusus dalam hidup ini. Tidak peduli apa yang kita lakukan sehubungan dengan Amanat Agung, kita tidak boleh memandangnya hanya secara umum saja. Para Utusan Injil tidak pergi ke seluruh dunia; mereka pergi secara perorangan ke bagian-bagian tertentu dari dunia. Jadi mereka memberikan dampak ke seluruh dunia secara bersama-sama. Bila kita menerima misi pribadi kita sebagai seorang pendoa syafaat, maka kita dapat mengambil bagian dalam penginjilan untuk "seluruh dunia".
Diambil dari:
Judul asli buku | : | Love on Its Knees |
Judul buku | : | Kasih yang Bertumpu pada Lutut |
Judul asli artikel | : | Prioritas Doa Syafaat |
Penulis | : | Dick Eastman |
Penerjemah | : | Liana Kosasih |
Penerbit | : | Nafiri Gabriel, Jakarta 2000 |
Halaman | : | 44 -- 51 |