Mendengar Suara Tuhan

Mendengar suara Tuhan? Siapa yang tidak tertarik dengan karunia yang satu ini? Selain menarik, juga orang yang memilikinya terlihat berbeda dibanding orang lain. Seolah-olah, pemilik karunia ini memiliki hubungan langsung dengan Tuhan, yang setiap saat dapat mendengar suara-Nya, mengerti isi hati-Nya, dan mampu menjadi jembatan orang itu dengan Tuhan.

Mendengar suara Tuhan bukan soal cara, melainkan soal apakah Anda mampu meningkatkan frekuensi dan kapasitas rohani Anda, melalui hubungan intim dengan Dia.


FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Itu sebabnya, orang yang memiliki karunia ini dituntut mengembangkan karakternya sedemikian rupa, sehingga melaluinya orang lain bisa dibangun, ditegur, dinasihati, dan dibawa dekat kepada Tuhan untuk mengalami transformasi hidup. Kalau tidak, maka karunia ini dapat disalahgunakan. Sudah banyak kasus di kalangan kristiani perihal penyalahgunaan karunia ini, seperti manipulasi, okultisme, dan hal-hal lain yang mengarah pada praktik perdukunan. Kalau demikian yang terjadi, orang tidak dibawa bertemu dan mengandalkan Tuhan, melainkan digiring pada pribadi pemilik karunia.

Setiap Orang Bisa

Dalam Perjanjian Lama, setiap orang tidak dapat memiliki akses langsung kepada Tuhan. Mereka butuh perantara yang disebut nabi, sosok yang diangkat oleh Tuhan menjadi "juru bicara-Nya" di kalangan umat-Nya. Jadi, dulu kalau mau meminta petunjuk Tuhan, orang-orang akan datang kepada nabi. Tetapi sekarang, tidak ada lagi model perantara seperti itu di dalam konteks orang percaya pascakeberadaan Yesus. Siapa pun dapat dan memiliki akses langsung kepada Tuhan, di dalam hadirat-Nya, dan mendengar suara-Nya. Melalui Yesus, kita telah dibawa langsung kepada Allah. Jadi, siapa pun bisa dan berpotensi untuk mendengar suara Tuhan.

Memang ada orang-orang tertentu yang memiliki "fungsi kenabian" di dalam dirinya, tetapi hal itu tidak berarti orang lain, yang percaya kepada Yesus dan sudah lahir baru, tidak memiliki kemampuan yang sama. Allah sudah memiliki hubungan langsung dengan kita. Kita tidak butuh lagi perantaraan manusia untuk mendengar suara-Nya. Persoalannya adalah, kalau kita punya akses langsung kepada Tuhan dan berpotensi untuk mendengar suara-Nya, kita sering bertanya demikian, "Mengapa saya masih belum dapat mendengar suara-Nya?"

Dengan Cara Allah

Satu prinsip penting untuk mendengar suara Tuhan adalah, memahami bahwa Allah selalu punya cara-Nya sendiri untuk berbicara kepada manusia. Artinya, harus berlangsung dalam kehendak Allah (bukan kehendak kita), pada waktu-Nya (bukan waktu kita), dan sesuai cara-Nya (tidak mengikuti cara yang kita inginkan). Kalau mau mendengar suara Allah, maka prinsip ini harus kita terapkan terlebih dahulu dalam diri kita. Ada kalanya, kita begitu menggebu untuk mendengar suara-Nya dengan cara yang kita kehendaki, dan hal itu membuat manusia gagal mendengar. Kenapa? Allah selalu punya cara-Nya sendiri untuk berbicara kepada kita.

Banyak jalan di mana Allah menyatakan isi hati-Nya kepada manusia. Bukan melulu melalui suara yang terdengar audibel di telinga. Allah dapat memakai firman-Nya sebagai cara-Nya berbicara. Dia juga menggunakan mimpi, lagu-lagu, peristiwa-peristiwa, kejadian, tanda, simbol, orang lain, dan segala hal yang dapat digunakan-Nya sebagai saluran isi hati-Nya. Inilah yang disebut "mendengar". Artinya, mampu menangkap apa yang menjadi pesan Tuhan di balik semua cara yang dipilih-Nya itu. Bukan semata-mata melalui telinga! Allah selalu punya cara tersendiri untuk berbicara kepada tiap-tiap umat-Nya. Cara Tuhan berbicara kepada A, misalnya, berbeda dengan cara-Nya berbicara kepada B. Oleh sebab itu, kita patut belajar mengenali setiap hal yang berlangsung di dalam hidup kita, jangan-jangan Tuhan menggunakan hal itu untuk menyatakan sesuatu.

Membangun Kepekaan

Persoalannya adalah apakah kita peka? Bagaimana kita tahu bahwa itu "suara" Allah dan bukan berasal dari sumber lainnya? (sumber lain itu dapat berupa keinginan daging, manusia, roh jahat, dan sebagainya.) Bagaimanakah caranya membangun kepekaan itu?

Doa Elisa

1. Kita perlu belajar mengerti bahwa suara Allah adalah sebuah kedaulatan Allah. Dia bisa secara sepihak membuka saluran itu pada seseorang, dan di saat yang sama menutup pada orang lain. Ingat kasus pengepungan Dotan? Waktu itu, Elisa tenang-tenang saja karena mata rohaninya mampu melihat kehadiran bala tentara Surga. Itu sebabnya ia berkata kepada Gehazi hambanya, bahwa yang menyertai mereka jauh lebih banyak. Belakangan, ia berdoa meminta agar dengan kedaulatan Allah, mata rohani Gehazi juga terbuka (2 Raja-raja 6:16-17)!

2. Kita perlu membangun kepekaan roh di dalam diri kita. Pada dasarnya, kita adalah manusia roh yang berdiam di dalam tubuh fisik dan memiliki jiwa. Tetapi, kedagingan dengan segala sifatnya yang berdosa, sering kali menguasai hidup kita daripada roh yang ada di dalam diri kita. Kita belum mati terhadap manusia lama. Maka, kalau kita mau peka mendengar-Nya, segala bentuk manifestasi kedagingan di dalam diri kita, harus dengan berani kita kalahkan atau kita tekan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi menguasai hidup, karakter, dan nilai-nilai kita. Pilihan ini tentu saja ada di tangan kita. Allah selalu nyaring "bersuara". Tetapi kedagingan yang menguat, membuat kita tidak dapat dengan nyaring mendengar-Nya.

3. Kita perlu mengambil waktu lebih banyak lagi untuk duduk diam di kaki-Nya. Apakah itu untuk berdoa, memuji dan menyembah Tuhan, atau merenungkan (memeditasikan) firman? Jangan tunggu waktu luang (sebab itu tidak pernah ada), tetapi sediakanlah waktu untuk "bergaul intim" dengan Dia, di mana pun Anda berada; di mobil atau saat sedang bekerja, gunakan setiap kesempatan tersebut terhubung dengan Tuhan.

Mendengar suara Tuhan bukan soal cara, melainkan soal apakah Anda mampu meningkatkan frekuensi dan kapasitas rohani Anda, melalui hubungan intim dengan Dia. Hubungan dengan Tuhan dengan sendirinya akan membangun kepekaan di dalam roh manusia. Paling tidak, Anda dapat mendengar suara-Nya untuk kepentingan Anda sendiri, sehingga tidak disesatkan.

Download Audio

Diambil dari:
Judul tabloid : Keluarga, Edisi 40, Tahun II -- 2008
Penulis : Pdt. Dr. Sonny Eli Zaluchu, M.A
Penerbit : PT. Anugerah Panca Media, Surabaya
Halaman : 24

Komentar